BAB 6 - Beautiful Tears 2

20.4K 2.4K 33
                                    

Puspa pernah berharap Arya adalah jawaban dari setiap doa yang ia langitkan. Sebuah pemberian terindah dari dunia yang seringnya mengecewakan. Tetapi pada akhirnya, laki-laki itu justru menjadi salah satu cobaan dari sekian ujian yang harus Puspa lapangkan. Setelah perceraian orangtua yang diawali dari ratusan pertengkaran hebat di hadapan Puspa, wanita itu kembali dipatahkan oleh seseorang yang seharusnya ia jadikan tumpuan. Arya Adiputra, kekasihnya.

Puspa jatuh, terbuang dan sekali lagi merasa tersisihkan.

Kehidupan Puspa berubah drastis setelah kepergian Arya. Wanita yang dulunya sudah mulai percaya dengan adanya keajaiban, kembali diredam oleh sebuah pengabaian.

Ya, Arya mengabaikan Puspa yang masih berharap besar dengan hubungan mereka. Hingga bertahun-tahun lamanya Puspa masih berharap seorang Arya akan kembali menatap kearahnya seperti dulu, tetapi nyatanya laki-laki itu tak kunjung kembali menoleh. Arya berjalan lurus tak lagi melihat ke arah Puspa di belakangnya yang memohon laki-laki itu untuk kembali. Arya benar-benar memusnahkan Puspa di dalam setiap poros hidupnya. Tak ada lagi nama Puspaningrum di sana. Sedangkan di hati Puspa masih terdapat nama Arya di mana-mana.

Pagi ini, mereka berdua kembali dipertemukan dalam sebuah fase kehidupan berbeda. Puspa tak lagi berharap, hatinya kosong berantakan. Sedangkan Arya sudah berjalan jauh di depan dengan kehangatan keluarga yang dulu pernah ia janjikan pada Puspa.

Mereka berdua di dalam ruangan yang sama dengan berbagai macam perasaan yang saling mencari perhatian. Puspa duduk dengan canggung dan jari jemari bertaut cemas. Mereka berdua dipisahkan sebuah meja marmer mewah. Puspa duduk di sofa berseberangan dengan Arya yang kini menautkan perhatian penuh ke arah wanita dari masa lalunya.

Sekelibat bayangan kebersamaan mereka hadir dan sekuat tenaga Puspa mencoba menepisnya. "Saya tidak pernah bermaksud mengganggu hidup Pak Arya," ucap Puspa pertama kali. Ini adalah salah satu bentuk pertahanan diri yang Puspa lakukan. Sebelum Arya mengeluarkan kalimat yang mungkin bisa kembali merobek hati, Puspa menjelaskan bahwa pertemuan ini hanyalah sebuah ketidaksengajaan. "Bahkan saya sama sekali tidak tahu kalau Pak Arya pemilik perusahaan ini," tambah Puspa. "Saya —saya sudah berencana resign tapi ternyata pinalty-nya terlalu besar. Saya tidak mampu."

"Bii—."

"Nama saya Puspa—, Puspaningrum," putus Puspa menyela. "Saya tidak akan mengganggu hidup Pak Arya, saya tahu dimana batas saya berada." Puspa mendominasi, sekuat tenaga mencoba menunjukan betapa dia tidak memiliki maksud terselubung dalam pertemuan ini. Tidak ada lagi yang Puspa harapkan dari seorang Arya Adiputra.

"Aku tidak sedikitpun merasa terganggu, aku—."

"Saya harus pergi," putus Puspa sekali lagi sambil berdiri. "Bisa Bapak bukakan pintu untuk saya keluar?"

"Bisa kamu tidak memutus kalimatku, Bii? Dan aku memohon kepadamu untuk tetap duduk, bisa?" Pinta Arya yang lebih layak disebut tuntutan.

Kali ini mata mereka kembali saling tertaut setelah sekian purnama. Puspa menguatkan hatinya untuk menelisik ke arah bola mata yang dulunya dekat namun kini terasa asing. Tak ada lagi perasaan memiliki seperti sebelumnya. Karena bagi Puspa, Arya-nya sudah mati.

"Maaf saya harus bekerja." Puspa membawa langkahnya ke arah pintu keluar dan semakin mempercepat ketika mendengar suara derap langkah kaki mendekat.

Puspa merasakan tubuhnya ditarik dan dipaksa menghadap ke arah objek yang paling ingin ia hindari. Arya memojokan tubuh Puspa ke pintu. Laki-laki itu kini berjarak sejengkal tepat di depan tubuh Puspa yang membeku. Puspa memilih mengalihkan tatapannya ketika seakan kembali terperangkap ke dalam manik mata Arya yang memunculkan ribuan kenangan manis mereka berdua —dulu. Mereka berdiri dengan jarak yang begitu dekat, dengan nafas yang saling menderu hebat. "Biarkan —saya, pergi," mohon Puspa.

Kamu yang kusebut RUMAH (Gratis)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang