PART 16 - Kesakitan Arya 1

19.5K 1.6K 16
                                    

* Masih Flashback

"Arya tidak bisa."

Satu tamparan kuat mendarat di pipi Arya. Laki-laki itu berdiri dengan kaku di depan papanya di ruang tengah apartement miliknya di Boston. "Jangan jadi goblok, Arya."

"Arya tidak bisa, Pa," keukeuh Arya.

"Karena wanita itu?" tanya Tn. Brama marah. Kedua matanya menyorotkan amarah yang sangat besar kepada anak laki-laki satu-satunya yang selama ini selalu bisa ia andalkan. Tn. Brama langsung mendapatkan penerbangan di hari pertama saat mendapatkan kabar kehamilan Ivy dan ... penolakan Arya.

"Namanya Puspa," jawab Arya.

Arya berdiri dengan kepala yang sengaja ia tundukan. Dia sangat menyesal tapi bukan berarti dia harus mengorbankan sisa hidupnya bersama dengan seorang wanita yang sama sekali tidak ia cintai. Dia menjaga dirinya dan juga perasaan Ivy nanti.

"Papa tidak peduli! Lepaskan wanita itu!" tuntut Tn. Brama.

"Berapa kali pun Papa meminta, Arya tetap akan selalu memiliki jawaban yang sama jika itu tentang Puspa."

Tn. Brama mengambil kertas kosong di hadapannya lalu meremasnya tepat di depan mata Arya. "Aku bisa menghancurkan wanita itu seperti kertas ini," ancam Tn. Brama. "Lepaskan dia."

Arya takut! Tentu saja papanya bisa menyingkirkan hidup Puspa dengan sangat mudah. Terlebih jika ada nama keluarga Miller dibelakangnya. "Arya ti—."

Brak!

"Jangan membantahku, Arya! Kamu tahu siapa Livylia? Siapa nama Miller dibelakangnya? Mereka bisa menghancurkan perusahaan yang sudah kakekmu rintis dari nol dengan sangat mudah. Hancur! Dan itu semua hanya bisa terjadi jika kamu melihat tubuhku terbujur kaku."

"Pa..."

"Berfikirlah dengan benar sebelum kamu bertindak," ucap Tn. Brama lalu duduk di kursinya. Seperti sebuah tamparan hebat disematkan kearah keluarga Adiputra saat mendengar kabar ini. Bagaimana bisa Arya tidak mau bertanggung jawab dengan darah dagingnya sendiri? "Keluarga Miller menginginkan pernikahan setelah anak itu lahir. Jangan pernah lepaskan pandanganmu dari Ivy."

Arya hanya diam membisu, tidak mengiyakan. Otaknya sibuk mencari jalan keluar yang sekuat tenaga ia cari tetapi nyatanya tetap tidak ia temukan. "Arya tidak mencintai Ivy."

"Apa menurutmu Papa menikahi mamamu karena cinta?" tanya Tn. Brama. "Jawabannya adalah tidak! Tapi buktinya ada kamu, kita bahagia hidup di dalam keluarga ini."

Arya diam mendengarkan.

"Dan apakah kamu membutuhkan cinta untuk membuat janin tumbuh di dalam perut Ivy?" tambah Tn. Brama.

"Itu sebuah kesalahan."

"Tidak butuh cinta dalam rumah tangga, Arya! Yang kamu butuhkan hanya komitmen dan kerjasama. Cinta akan menghilang bersama waktu, dan Papa pastikan apa yang kamu rasakan kepada wanita itu akan hilang saat kamu memulai kehidupanmu bersama Ivy."

Arya memejamkan matanya kuat saat merasa tak ada lagi pintu keluar untuknya. Tapi melepaskan Puspa tidak akan semudah itu. Wanita itu sudah menjadi bagian dalam hidup Arya. Ia jadikan tumpuan selama ini. Lalu bagaimana ia harus mengatakan sebuah perpisahan yang sama sekali tidak ada di dalam rencananya bersama Puspa? "Pa —," panggil Arya lirih.

Satu tetes air mata tak lagi bisa tertahan ketika rasa kehilangan begitu kuat meskipun perpisahan belum terucap. Dada Arya sesak, hanya sekedar untuk bernafas normal. Ia membayangkan bagaimana hidupnya nanti tanpa wanita itu? Bagaimana bisa Arya bertahan saat wanita itu-lah selalu bisa ia jadikan sandaran?

Kamu yang kusebut RUMAH (Gratis)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang