BAB 8 - Hati yang terluka

20K 2.2K 29
                                    

Jakarta diguyur hujan sejak dini hari, suasana yang memunculkan dingin dan asing untuk setiap penghuninya. Biasanya Jakarta panas, tak seperti sekarang yang basah dimana-mana. Puspa mendudukan tubuhnya di kursi kayu usang balkon terbengkalai yang sering ia jadikan sebagai tempat pelarian. Matanya tak pernah puas menikmati suasana jalanan kota Jakarta dari titik ini. Terlebih hujan masih mengguyur deras. Puspa sangat menyukai hujan dan suasana setelahnya.

Sebuah tempat makan berwarna abu-abu dengan isi dua roti bakar selai strawberry terletak di samping kanan Puspa. Satu cup es kopi dingin tak lupa menemani paginya. Perusahaan tempatnya bekerja memberikan kelonggaran karyawan untuk mendapatkan sarapan terlebih dahulu. Lamanya perjalanan di Jakarta menjadi alasan kenapa peraturan perusahaan memberikan kelonggaran jam mulai bekerja.

Puspa membuka kotak makan dan memulai sarapannya. Di gigitan pertama roti bakar miliknya, Puspa merasakan kehadiran seseorang selain dirinya di tempat ini. Tak perlu memutar tubuh untuk mengetahui siapa yang datang karena aroma parfum musk yang sudah ia kenali mampu memberikan jawaban.

Laki-laki itu mendudukan tubuhnya di ujung kanan kursi kayu yang kosong tanpa permisi. Ia meletakan satu cup teh panas dengan tali saringan yang menggantung —seperti dulu, Puspa suka es kopi dan Arya menyukai teh hangat. Tidak perlu bertanya darimana Arya tahu Puspa ada di sini. Perusahaan ini miliknya, ada dalam kekuasaannya. Mereka dipisahkan jarak diantara tempat makan dan dua cup minuman. Gemericik air menjadi suara yang paling dominan disini.

"Bagaimana kabar Bapak dan Ibu?" tanya Arya memecah sepi.

Puspa enggan menjawab, ia lebih memilih untuk segera menghabiskan roti bakar miliknya dan pergi.

"Bapak sama Ibu sehat kan?" tanya Arya tak mau berhenti.

"Aku ke Peninggaran (rumah Puspa dulu), tapi kata tetangga kalian sudah menjual rumah dan pindah."

Hening kembali menjeda ketika kalimat Arya tak berbalas. Puspa mengunci mulutnya rapat dengan tatapan mata menaut ke arah hujan yang deras.

"Masih suka hujan?" tanya Arya lagi. "Masih suka es kopi di saat hujan, kamu tidak berubah, Bii," ucapnya sambil tersenyum tipis ke arah Puspa. Laki-laki itu memanfaatkan kebisuan Puspa untuk mengamati garis wajah wanita yang tak pernah berubah di hadapannya. Sudah lebih dari lima tahun tapi Puspa masih sama, masih cantik untuk seorang Arya.

Tanpa permisi Arya mengambil satu tangkup roti bakar milik Puspa dan memasukan ke mulutnya. Hanya satu gigitan tapi ribuan kenangan mereka dulu saling berlomba mencuri perhatian. Kenangan yang mampu menghangatkan dalam dinginnya pagi tapi tiba-tiba mencekat ketika kenyataannya kini mereka tak lagi dekat. "Enak," puji Arya yang sia-sia karena Puspa masih tetap sama.

Tangan Puspa mengambil cup miliknya dan memilih untuk meninggalkan Arya dalam kesepian. Sayangnya, satu-satunya jalan untuk pergi dari tempatnya harus melalui sisi depan Arya yang kosong. Puspa berfikir sebentar lalu memutuskan untuk tetap melangkah ketika tidak ada pilihan lain.

"Bii." Arya menahan tangan Puspa yang bebas, menggenggamnya sekilas.

Sentuhan fisik pertama kali setelah lima tahun perpisahan membuat setiap nadi di dalam tubuh Puspa menegang. Kulit itu terasa dingin dan asing, sesuatu yang menciptakan desir hebat di hati Puspa yang terbiasa kosong tak ada rasa dan warna.

"Aku mohon untuk tetap seperti ini."

Puspa mengingat permohonannya dulu yang selalu terabaikan. Ia mengingat dengan sangat detail bagaimana perasaannya dulu saat Arya menolak permintaannya untuk kembali. "Bapak sangat paham semua ini adalah kesalahan."

Arya meletakan kepalanya di tangan Puspa yang menggantung. Sepersekian detik Puspa merasakan kesedihan Arya yang sampai ke hatinya. Lalu tiba-tiba ingatan Puspa kembali tersentak ketika rasa sakitnya ditinggalkan kembali muncul. Arya tidak mencintainya lagi.

"Tidak ada yang salah jika itu tentangmu, Bii. Tentang kita," jawab Arya tanpa melepaskan genggamannya.

"Bapak sudah —menikah." Puspa tercekat dengan fakta itu.

Semua sudah berbeda, Arya tak lagi milik Puspa begitu sebaliknya. Dia tidak mau mengusik pernikahan laki-laki itu. Puspa melepaskan tangannya dari genggaman Arya dengan mudah. Seperti itulah laki-laki itu saat melepaskannya dulu, tanpa kata, tanpa penjelasan, Puspa pergi meninggalkan Arya dengan perasaannya sendiri.

Sepanjang perjalanan ke ruangan, hati Puspa tak pernah berhenti berdesir hebat. Efek Arya masih begitu kuat untuk seorang Puspa. Arya adalah cinta pertama Puspa setelah ayahnya, laki-laki yang mematahkan sayapnya, setelah ayahnya juga melakukan hal yang sama. Ia berjalan ke arah kubikel karena waktu sarapan seharusnya sudah selesai. Jika dia terlalu lama, kemungkinan besar ia pasti akan mendapatkan teguran dari Mbak Dwi. Seperti kemarin ketika tragedi menumpahkan kopi ke anak pemilik perusahaan yang memaksa Puspa untuk memulai pekerjaannya sedikit terlambat.

Bola mata Puspa menemukan kehampaan saat melihat kubikel di sisinya yang tak berpenghuni. Ia ingin bertanya kepada teman-teman lainnya karena laki-laki itu jarang terlambat, tapi urung. Tidak ada yang perlu mendapat perhatian lebih termasuk Raka.

"Ada update terbaru ya gais, ini sudah ada rancangan penerimaan karyawan baru. Sepertinya perusahaan benar-benar concern dalam pembangunan pabrik di Cikarang." Mbak Dwi datang dengan segepok berkas perencanaan rekruitment karyawan.

"Kapan, Mbak?" tanya si rambut kontras yang Puspa ketahui biasa dipanggil Ciput. Kata Raka nama aslinya adalah Putri sedangkan Ciput adalah nama kerennya saja.

"Bulan depan. Akan ada rekruitment di luar kota, mungkin ada yang berniat mendaftarkan diri buat dinas luar nih?"

"Kemana aja?" tanya Laila, dia adalah salah satu karyawan yang hampir mirip dengan Puspa, pendiam. Duduk di paling ujung dekat jendela kaca.

"Jogja, Bandung sama Malang."

"Wah gue mau yang di Malang."

"Gue mau yang di Jogja, biar sekalian jalan-jalan."

Banyak anak-anak yang mendaftarkan diri untuk bisa ikut gabung dinas luar. Karena bisa sekalian jalan-jalan pun juga uang ekstra-nya yang lumayan.

"Puspa mau coba ikut daftar?" tanya Mbak Dwi.

Puspa menggeleng, tempat baru dengan teman-teman dan orang baru bukan menjadi pilihan yang terbaik untuk dirinya saat ini.

"Oke, fiks ya, udah gue list nih," tanting Mba Dwi.

"Sudah, Mba," jawab anak-anak serentak.

Puspa mendekati Mba Dwi yang sibuk menulis beberapa pendaftar di mejanya plus kota yang diinginkan. "Raka kemana, Mbak?" tanya Puspa ingin tahu.

"Tadi pagi tiba-tiba izin lagi sakit katanya."

"Oh," jawab Puspa singkat.

Raka sakit? Batinnya dalam hati.

"Gimana, Puspa?" tanya Mba Dwi memastikan.

"Nggak apa-apa, Mbak. Cuma nanya aja." Puspa melanjutkan aktivitas pekerjaannya. Ia mengambil ponsel dan merasa sulit menahan rasa ingin tahunya.

Me :
Lo sakit?

Lama pesan itu tak berbalas. Puspa mengabaikan dengan menyibukan diri dalam pekerjaannya yang menggunung di awal minggu. Beberapa menit tidak terdengar ada balasan, hingga Puspa tertarik untuk kembali mengambil ponsel dan mengecek notifikasinya lalu mendesah pelan saat tak menemukan apa-apa di sana.

"Huft."

Beep.

Raka :
Iya.

Me :
Sakit apa?

Raka :
Kalau mau tahu dateng aja jengukin gue.

Me :
Dih! Ogah, ngarep lo.

Raka :
Emang! Peka dikit dong.

Puspa tak lagi membalas pesan Raka. Memilih untuk membiarkan dan kembali berkutat dengan beberapa berkas laporan yang harus ia selesaikan hari ini. Tidak ada yang salah jika itu tentangmu, Bii. Tentang kita.

Kenapa kalimat ini terus terulang-ulang di dalam otaknya?

Kamu yang kusebut RUMAH (Gratis)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang