PART 10 - Raka.

19K 2.1K 12
                                    

"Sudah klunting gais." Ciput menunjukan ponselnya ke arah teman-teman satu ruangan dan disambut hiruk pikuk manusia-manusia lainnya.

"Gajian, gajian," timpal Mbak Dwi dengan wajah sumringah.

Puspa memeriksa ponselnya sendiri dan tersenyum puas saat melihat notifkasi sms banking yang menunjukan nominal gaji masuk. Ia kembali menekuni PC-nya sebelum tiba-tiba Raka berdiri di depan mejanya dengan wajah muram. "Apa?" tanya Puspa dengan kedua alis mengerut. Wanita itu tetap duduk di kursinya tanpa berniat berdiri untuk menyambut Raka.

"Gue lagi ada masalah."

"Terus? Gue nggak harus terlibat dalam masalah lo," jawab Puspa kembali menatap ke layar komputer. Ia membenahi kacamata anti radiasi yang bertengger manis di hidung mungilnya.

"Nyokap tahu kalau gue lagi gajian, terus dia nitip dibeliin kencur."

Puspa melihat ke arah Raka yang masih tetap dengan kurang ajar berdiri di depannya. Untung teman-teman satu ruangan mereka tidak terlalu ahli mencampuri urusan orang lain. Terlebih, mereka semua sedang tekun dengan ponsel mereka masing-masing. Ada yang sedang bayar paylater, ada yang checkout barang dan ada juga yang transfer orangtuanya di desa.

"Puspaningrum," panggil Raka lagi dengan penekanan.

"Apa sih?"

"Gue nggak tahu mana kencur, temenin gue belanja bareng," jelas Raka ketika Puspa tak kunjung paham dengan maksud terselubung dalam hati laki-laki itu.

"Lo bisa nanya ke mbak-mbak di supermarket, Raka."

"Yaa gue lebih nyamannya nanya sama lo. Lo juga butuh belanja bulanan kan?" Tebakan absurd Raka tidak sia-sia karena Puspa mengangguk. Semua orang pasti memikirkan belanja bulanan di hari gajian tiba. "Makanya, sekalian aja kita belanja bareng."

"Ya udah, tapi—."

"Gue udah ada plan! Motor lo ditinggal kantor terus lo gue bonceng sekalian gue anter pulang. Supermarketnya yang deket-deket rumah lo aja biar nggak terlalu capek bawa barang belanjaan," jelas Raka panjang lebar lalu sedetik kemudian dia menyesal. Seharusnya dia tidak boleh terlalu kelihatan mencolok kalau dia sudah memikirkan plan sejak tadi.

"Yaa gue ngikut aja."

Beruntungnya Raka, Puspa adalah salah satu wanita ter-tidak peka di muka bumi. Raka yakin wanita itu sama sekali tidak tahu maksud terselubung di balik ajakannya belanja bersama. "Oke deal!"

Sore harinya sepulang kerja, Raka benar-benar tidak mau menyia-nyiakan kesempatan ini. Mereka berdua berjalan bersama dengan satu trolly belanja. Jika boleh Raka menebak, mereka sudah layaknya sepasang suami istri yang sedang belanja bersama sepulang kerja.

"Kenapa lo senyum-senyum sendiri? Nggak gila kan lo?"

"Dih, kagak! Gue lagi seneng aja habis gajian, gue bingung gimana mau ngabisin duit."

"Sombong!"

"Haha," tawa Raka lepas.

Mereka berdua sedang berdiri di depan etalase alat mandi dan beberapa pewangi ruangan. Puspa sedang menimbang-nimbang antara dua parfum pewangi ruangan, satu botol berwarna ungu dengan wangi wild flower dan satu lagi berwarna oranye dengan wangi lemon fresh.

"Gue suka yang buah-buahan, lemon gitu," ucap Raka yang tiba-tiba muncul di sebelah kanan kepala Puspa. Kedekatan asing yang memaksa Puspa untuk menjauhkan tubuhnya dari Raka.

"Ini bukan buat lo."

"Yaa gue ngasih tahu aja. Siapa tahu besok kalau kita sudah tinggal di atap yang sama lo perlu tahu apa yang gue suka dan apa yang nggak gue suka. Termasuk parfum ruangan," jawab Raka dengan kedua alis yang sengaja dia naik turunkan. Jangan lupakan senyum tengil yang selalu memaksa bibir Puspa untuk mengikutinya.

"Gue nggak punya duit lebih," jawab Puspa dengan wajah datar —seperti biasa.

"Maksud lo?" Kenapa Puspa jadi bahas duit?

"Ya siapa tahu lo mau tinggal seatap sama gue buat jadi tukang kebun atau pembantu di rumah gue. Makanya gue kasih tahu, gue nggak punya budget buat itu."

Raka ternganga, bibirnya terbuka bulat sempurna. Bukan dia terpukau dengan jawaban Puspa yang (sedikit) lucu, tapi laki-laki itu sangat terkejut ketika bagaimana bisa Puspa mengatakan lelucon dengan wajah datar tanpa ekspresi? Raka mendesah tak percaya.

"Kenapa?" tanya Puspa. Dia sedikit ragu dengan jawaban yang sengaja ia timpali untuk mengimbangi Raka.

"Gue kagum, lo pinter banget menyembunyikan ekspresi wajah, Rum."

Puspa berfikir dengan kedua bola mata yang berada di ujung kiri atas mata belo-nya. "Emang begitu?"

"Ya."

"Oh," jawab Puspa kembali dengan ekspresi datar. Puspa membawa trolly mereka berdua ke arah lain, meninggalkan Raka dengan rasa penasarannya.

"Kenapa lo susah banget buat senyum?" tanya Raka tiba-tiba.

"Hidup gue terlalu sulit buat disenyumin," jawab Puspa singkat. Wanita itu kali ini sedang memperhatikan beberapa merk shampo yang menarik perhatian.

Raka terhenyak, kejadian apa yang membuat seorang wanita semanis Puspa menjadi tak terbaca? Jika dilihat dari cara Puspa menjawab leluconnya, seharusnya Puspa bukanlah wanita se-pendiam itu. Raka melepaskan segala pemikirannya tentang Puspa ketika merasa tak kunjung menemukan jawaban. Ia memilih pasta gigi dan sikat gigi lalu meletakannya di trolly. Mereka melanjutkan aktivitas belanja lalu sudah berada di parkiran motor ketika senja menjelang.

"Gue laper. Mau sekalian makan nggak?" tanya Raka.

"Gue makan di rumah aja."

"Lo nggak mau nawarin gue makan di rumah lo?" tanya Raka penuh harap.

Puspa hanya menjawab dengan senyuman dan tetap melanjutkan aktivitasnya memakai jaket. Raka tahu, keinginannya kembali pupus.

"Kenapa lo selalu terlihat takut berinteraksi dengan orang? Bahkan waktu ada tawaran buat dinas luar, lo menolak." Entah kenapa Raka merasa tidak nyaman dengan keingintahuannya. Puspa seorang wanita yang mampu menarik perhatian Raka di kali pertama pertemuan keduanya.

"Buat apa mengenal banyak orang? Ketika gue bisa hidup dengan diri gue sendiri."

"Lo tetap butuh orang lain."

"Gue nggak bilang kalau gue nggak butuh orang lain. Gue hanya —nyaman sama diri gue sendiri."

"Tapi lo tetap butuh bertemu dengan orang baru, mengenal orang baru dan—."

"Dan masalah baru, sumber rasa sakit baru. Begitu maksud lo?" tanya Puspa menyela.

Raka diam, melihat ke arah Puspa tajam. Dia sempat berfikir seharusnya parkiran motor bukan tempat yang baik untuk membahas perbincangan serumit ini. Tetapi semuanya sudah terlanjur bukan? "Gue ... gue juga orang baru. Tapi lo bisa menerima gue buat masuk ke dalam hidup lo." Raka menuntut penjelasan.

"Lo yang selalu maksa buat masuk ke dalam hidup gue, Raka. Laki-laki selalu seperti itu. Tapi santai, tameng gue udah lebih mumpuni buat masalah-masalah seperti itu," jawab Puspa. Wanita itu sudah mengenakan jaket dan helmnya lengkap. "Sudah boleh naik?"

"Oh ya, tentu." Raka sejenak kehilangan logikanya. Ia menyiapkan footstep untuk Puspa naik lalu mempersilahkan wanita itu duduk di belakangnya.

Motor mulai dihidupkan dan mereka berdua meninggalkan parkiran supermarket. Sepanjang perjalanan hanya ada kebisuan. Raka sibuk dengan pemikirannya sendiri sedangkan Puspa sibuk menikmati beberapa tetes gerimis yang mulai datang. Gerimis datang sebelum mereka sampai di rumah Puspa.

"Rumah gue udah deket, nggak usah pakai jas hujan ya?" pinta Puspa.

"Yaa."

Puspa memang tidak berniat menggunakan jas hujan. Dia ingin menikmati hujan. Puspa melepaskan helmnya, ia mendongak menanti air hujan membasahi kulit wajahnya. Sudah lama wanita itu tidak bermain hujan. Seperti dulu saat ia masih kecil, saat kedua orangtuanya masih utuh dan saling mencintai. Manusia selalu seperti itu, kehilangan cinta karena waktu. Itulah sebabnya Puspa sama sekali tidak percaya dengan hal itu lagi. Baginya, hidup dengan dirinya sendiri sudah lebih dari sekedar cukup.

Puspa tidak membutuhkan oranglain termasuk Bapak dan Ibunya, termasuk Arya dan juga Raka.

Kamu yang kusebut RUMAH (Gratis)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang