Seminggu menghilang, Sajune pergi seolah tak ada jejak didalamnya. Dan Lea harus dihadapkan pada dua jalan pikiran yang saling memumpu permusuhan.
Hiburan dilayar televisi nyatanya tak memberi efek lebih selain rasa bosan yang tak jua terobati kala ia sadar sepotong hatinya menghilang entah kemana.
Lea mendongak mengitari langit-langit ruangan dengan sorot hampa. Mungkin memang benar, hari pertama, kedua dan ketiga Lea merasa tenang dengan segalanya. Lea dapat bernafas lega, dan dapat tertawa bebas bersama Jiani, Teresa dan Yasha tanpa harus merasa was-was.
Namun nyatanya ia salah, semua itu berbuah pahit. Lea harus merasakan satu ruang kecil dalam kalbunya kosong tak berpenghuni, ada yang berbeda disana. Akan tetapi sebisa mungkin ia tangkis dengan doktrinan kata yang Angeline berikan beberapa waktu lalu.
Andai saja Sajune dapat menjaga batasan diantara mereka, mungkin Lea tak akan merasa setertekan ini.
Sedetik kemudian getaran kecil dapat mengalihkan atensi Lea, ia membaca bait yang tertera dengan raut wajah yang perlahan berubah. Badan Lea menegang disertai kekhawatiran yang besar.
Satu pesan dari Teresa perihal Sajune dan Jiani sontak membuat Lea panik seketika. Lea bangkit dan berjalan tergesa meraih jacket didalam almari kamar.
Lewat telepon genggamnya, gadis itu mengetikan pesan berusaha tenang. Butuh waktu sekitar lima belas menit agar sampai ditempat tujuan.
Lea sudah berancang-ancang kala bus yang akan mengantarnya pergi sudah ada ditempat yang menjadi lokasi perkelahian antara Sajune dan Jiani.
Kedua pemuda itu menatap tajam satu sama lain, ada bercak merah disudut bibir Sajune sedang Jiani masih terlihat baik-baik saja meski kerah kemeja pemuda itu sudah kusut tak karuan.
Lea menghampiri Yasha disudut ruangan, mengepalkan kedua tangan dan memohon pada lelaki itu untuk memisahkan mereka.
"Bilangin mereka buat berhenti Yash, kenapa lo diem aja?"
Yasha menghembuskan nafas kasar dengan kedua tangan terlipat didepan dada. "Susah kalau belum ada yang mati!"
"Yasha sialan!"
Lea berdecak sebal dan mengalihkan pandangan lalu meniti satu persatu kedua sosok yang saling menatap tajam satu sama lain.
"Lo berdua bodoh apa gimana?"
Teriakan itu tak membuahkan hasil, Jiani masih memberikan pukulannya tepat dipelipis Sajune, mengabaikan Lea yang terlihat panik kala ada darah yang mengalir dibalik hidung Sajune.
Perlahan mendekat, Lea menarik paksa tangan Jiani berusaha menghenikan pukulan yang pemuda itu berikan pada orang yang sudah bersimpuh lemah.
"Dia bisa mati Ji!" Ucapan Lea bergetar hebat. Mengalihkan perhatian Jiani yang tengah dilanda api amarah.
Jiani mengusap wajah kasar. "Lo harus tahu, dia yang mulai Le! "
"Ya kenapa lo balas Jiani? gue malu sama Gris kalau dia sampe tahu lo bela-belain ngotorin tangan lo karena ngebela gue."
Netra Lea beralih menatap pemuda satunya lagi. "Ayo pergi!" Perintah Lea menyentak tangan Sajune dan mengamitnya perlahan untuk pergi dari sana.
Perihal pamit, maaf dan lain sebagainya, Lea bisa menyampaikan hal itu esok hari. Ketiganya seharusnya mengerti bagaimana kekanakannya sosok Sajune dari dulu.
Tak ada satupun yang bersuara, Lea tetap menggenggam pergelangan Sajune hingga mereka sampai dikediamannya saat ini.
Gadis itu mendorong punggung Sajune agar masuk lebih dulu.
"Lea..." Sajune mencicit ketika melihat Lea memijit pelipis disampingnya
"Gue beneran gak ngerti sama sikap lo yang suka berubah tiap waktu." Lea mengusap wajah kasar sembari melangkah mengambil kapas dan air hangat.
Ia lalu duduk dihadapan Sajune, perlahan mendaratkan kapas basah pada luka diujung bibir lelaki ini.
"Kenapa sikap lo gak bisa gue prediksi sih June? kenapa mood lo selalu berubah tanpa bisa gue duga?"
Sajune menggeleng tak tahu, lambat laun meniti setiap inci wajah Lea dan memandanginya tanpa henti.
"Lo tuh sampai kapanpun gak akan pernah bisa ngalahin Jiani, dia selalu unggul daripada lo!"
Sajune memajukan bibir, cemburu kembali merangsak masuk menjalari kalbunya.
Lea mendelik melihat raut Sajune saat ini. "Gak usah sok imut bisa gak?" Tangannya masih bertengger diatas membersihkan serta mengobati luka Sajune penuh kehati-hatian.
"Kayaknya kemarin kita salah paham deh Le."
"Gak ada, kita gak pernah salah paham. Disini lo yang gak pernah paham sama posisi gue!"
"Dengerin aku dululah." Sajune menurunkan bahu, sebelum Lea kembali membersihkan lukanya.
Lea menggeleng tak mau mendengarkan. "Istirahat sana! Gue gak mau debat dulu sama lo hari ini." pungkasnya sambil merapihkan kapas dan tisu diatas meja untuk disimpan kembali ketempat semula.
"Lea..."
Lea mengangkat alis, bertanya. "Apa lagi?"
"Boleh minta peluk?"
Bibir sang gadis mencibir, memukul dahi Sajune kemudian, kesal dengan permintaan pemuda itu. "Najis June! Lo kerasukan setan apa sih sampai Jiani mukul lo kayak gini?"
"Kalau aku bilang cemburu sama dia kamu percaya?"
Ekspresi Lea berubah, tersentak sebentar sebelum merubah kembali raut wajahnya seperti semula.
Lea merendahkan suara. "Gak ada yang perlu dicemburuin dari Jiani."
"Kamu tahu? aku cemburu. Kenapa selalu Jiani yang nampung rasa sedih kamu?" Wajah Sajune mengendur sendu, tak ada tatapan nyalang ataupun tajam seperti apa yang pemuda itu berikan ketika ia dilanda api cemburu.
Lea mengalihkan pandangan kearah lain, enggan untuk menatap Sajune. "Lo cuma fokus lihat dia doang June, Yasha sama Teresa juga berperan penting dalam hidup gue."
"Tapi Jiani lebih penting gitukan maksud kamu?"
Lea memejamkan mata, emosi kembali datang merayap. "Lama-lama gue muak denger nama Jiani dari mulut lo."
"Yaudah gak usah ngomongin lagi Jiani kalau gitu."
Kepalan tangan Lea mengerat. "Lo yang mancing terus bodoh!"
"Aku tuh gak bakal mancing-mancing kalau kamu gak deket-deket sama Jiani. Simple kan?!"
"Gak waras lo!"
Dan Sajune tak pernah tahu, bahwa sedari tadi Lea menahan badannya agar tak ambruk kedalam dekapan pemuda itu. Lea menggigit bibir kala ia memunggungi Sajune dan hendak pergi meninggalkannya keruangan lain. Bagaimana mungkin ia tidak bisa sekhawatir ini saat Sajune terluka?
KAMU SEDANG MEMBACA
How Can I Love The Heartbreak (SELESAI)
FanfictionLea merasa hidupnya semakin kacau ketika Sajune mulai memperlihatkan sikap obsesifnya begitu saja, persahabatan yang mereka jalin setelah sekian lama terpaksa hancur begitu saja kala Sajune lambat laun menarik ia kedalam labirin cinta tanpa bisa Lea...