"Cewek itu masih belum ketemu bang?"
Hans terpaksa memundurkan wajah, kala ia mendapatkan tatapan tajam dari Sajune. Pemuda itu berkali-kali mengusap dada syok dengan keberingasan Sajune yang terus menerus memukul samsak tanpa henti.
Hans tahu betul apa yang tengah dirasakan Sajune akhir-akhir ini, setiap kali pemuda yang empat tahun lebih tua darinya ini berkunjung kesini, Hans selalu mendapati Sajune terlihat frustasi.
"Gue gak habis pikir sama lo bang, pikiran lo udah dibodohi sama cewek itu apa gimana?" Suara itu bukan berasal dari mulut Hans, pemuda lain diujung ruangan ikut bersuara perihal kelakuan Sajune yang seperti ini.
"Lo datang kesini kalau buat nasehatin gue pulang aja sana!"
"Ini rumah gue bodoh!" Madish menaikan nada bicaranya, pikiran Sajune benar-benar sudah dibodohi dan dia tak habis pikir entah pelet apa yang diberikan perempuan itu untuk tetangganya ini.
Sudah sejak tadi Sajune hanya menghabiskan waktu dengan melampiaskan segala rasa yang tertahan pada sebuah samsak merah dirumah ini. Tak peduli berkali-kali Hans dan Madish memberinya peringatan agar tak terlalu brutal.
"Bang gue beneran serem liat lo kayak gini, udahlah bisa-bisa samsak bang Madish rusak karena ulah lo." Hans kembali memperingati.
"Diem lo! gue lagi marah sama semesta, kenapa gak ada satupun manusia yang berguna disaat gue hampir frustasi kayak gini."
Peluh Sajune semakin mengucur deras, ia tambah memukul benda dihadapannya lebih semangat daripada sebelumnya. Dan Madish hanya bisa memijat pelipis tak habis pikir.
"Lo beneran udah dibodohi sama cewek itu gila!"
Sajune menoleh, memberikan tatapan setajam elang. "Dish, lo kalau gak berguna mending diem aja, jangan nambah beban di gue aja."
"Sialan, lo yang gak berguna bang. Terus ngapain lo kerumah gue kalau gitu?"
"Ya karena tante Erika juga ngizinin gue buat dateng kerumahnya ya terserah gue dong."
Madish menggertakan gigi dibuatnya. "Sialan lo mau dapet bogeman dari gue berapa?"
Hans berdiri segera, kala ia melihat Madish yang nampak tersulut dengan ucapan Sajune dan menahan tubuh lelaki itu agar tak terjadi apa-apa.
"Udah bang, lo juga jangan sama aja. Bang Sajune cuma lagi galau makanya dia kayak gini."
Madish memejamkan mata, merilekskan terlebih dulu emosinya yang nampak tersulut. Ia kembali mendudukan diri.
"Masih banyak cewek diluaran sana, lo jangan cuma terpaku disatu cewek aja, yang satu lagi juga lo belum lepasin orangnya."
"Lo tahu Dish? orang yang udah nyebarin berita tentang gue dan Lea itu Angeline, makanya sampe sekarang gue belum lepasin dia."
Madish mengedikan bahunya tak peduli, "Terlepas dari siapa orang itu gue gak peduli, kelakuan lo juga salah Bang. Lo harusnya ngehadapin semuanya dengan kepala dingin."
"Gue frustasi Dish, gak ada satu orangpun yang mau ngasih tau gue dimana Lea."
"Bang, gue ingetin aja ya, jangan sampai hanya karena satu wanita, lo jadi keliatan bego kayak gini. Banyak kali di luaran sana yang lebih dari dia."
Sesaat Sajune menghentikan pukulannya berjalan lunglai tanpa gairah. "Tapi gue maunya Lea Dish."
Hans meringis pelan, "Memang susah Bang ngehadapin orang yang udah bucin setengah mati." lirihnya sembari menoleh kearah Madish.
Madish mengulum bibir, tampak berpikir sejenak sebelum mendongakan wajah dan menatap sosok Sajune serius.
"Bagi kontak temen lo yang tahu keberadaan cewek itu dong! biar gue hubungin dia, siapa tahu mudah dapetin informasinya."
Permintaan Madish sontak membuat Sajune menoleh refleks dan tersenyum sumringah. Pikirnya kenapa ia tidak meminta bantuan dua manusia ini dari kemarin-kemarin?
"Kenapa baru bicara sekarang sih Dish?"
"Lo jangan bikin emosi gue naik lagi ya!"
Sajune hanya terkekeh dibuatnya, ia kemudian meraih ponselnya diatas nakas. Tanpa waktu lama Sajune segera meminta nomor Jiani kesalahsatu kenalannya.
Setelah pertikaian mereka dulu, Sajune memilih untuk menghapus kontak Jiani dari handphonenya. Kecemburuan dan perasaan kesal adalah salah satu alasan mengapa Sajune memilih memutus hubungan pertemanan diantara mereka.
Childish memang.
"Udah gue kirim, kalau dia emang luluh sama lo cepet kasih tahu gue!"
"Iya-iya sabar kali, nanti juga gue langsung kasih tahu. Najis banget liat lo galau mulu tiap hari." Balas Madish dengan tatapan jengah.
"Lo pada gak tahu aja gue benar-benar udah dibuat gila sama Lea, gak tahu pelet apa yang dia kasih sampe gue beneran kayak ketagihan sama kehadiran dia."
Hans yang mendengar itu seketika bergidik ngeri disamping Madish. Ia meringis menatap iba sosok Sajune yang mulai menundukan kepala.
"Gue kalau jadi cewek itu udah ngeri liat lo bang." Hans berucap seraya meringis pelan.
"Lo bocil mending diem deh, anak kecil gak usah ikut campur urusan orang dewasa!" Kesal Sajune masih menundukan kepala.
Hans mendengus kasar, memang susah berhadapan dengan orang yang tengah diliputi kesedihan. Ia merasa serba salah, nasehat ataupun kata penenang sekalipun tak akan pernah bisa meredakan emosi labil Sajune saat ini.
Mereka berdua seperti orang yang bodoh, tetap setia menemani dan menyaksikan segala sikap pelampiasan Sajune atas kesedihan yang menimpanya akhir-akhir ini.
Yang pada akhirnya Hans dan Madish hanya bisa mengeluh dan mendengus kasar.
Pada satu waktu, kala jam menunjukan tepat pukul delapan malam, Sajune dikejutkan dengan sebuah notifikasi dari sebuah nomor tak dikenal. Ia menegang untuk waktu yang cukup lama, mendesis dan terus bertanya dalam hati kenapa semesta harus sebecanda ini kepada dirinya dan Lea.
KAMU SEDANG MEMBACA
How Can I Love The Heartbreak (SELESAI)
FanfictionLea merasa hidupnya semakin kacau ketika Sajune mulai memperlihatkan sikap obsesifnya begitu saja, persahabatan yang mereka jalin setelah sekian lama terpaksa hancur begitu saja kala Sajune lambat laun menarik ia kedalam labirin cinta tanpa bisa Lea...