"Dalam rangka apa lo ngasih pizza tiba-tiba? pasti mau sesuatu kan?"
Mendengar pertanyaan penuh delikan itu, Jiani mencibir tak terima. "Suudzon mulu lo, tambah tua baru tahu rasa!"
Lea balas mengernyit bingung. "Apa hubungannya?"
"Ya gak ada, udah terima aja!" ketusnya sembari memaksa Lea untuk segera menerima box pizza ditangannya.
Jika bukan karena rengekan menyebalkan dari Sajune, Jiani tak akan susah payah untuk menuruti permintaan pemuda itu dikoridor kampus tadi. Ia berulang kali bergidik ngeri, teringat kala Sajune terus bergelayut manja dilengannya demi meminta bantuan agar mengantarkan pizza tersebut kerumah Lea.
Harga dirinya seolah dipertanyakan, Sajune berhasil membuat Jiani merasa ingin tenggelam hidup-hidup saat itu juga. Bagaimana tatapan orang-orang begitu memandang aneh kearah mereka berdua.
Disepanjang perjalanan menuju rumah Lea, Jiani terus mengutuk nama Sajune dengan umpatan dan perkataan yang mewakili kekesalan dalam dirinya. Demi apapun yang ada didunia ini, jika saja Gris ada dikejadian itu, ia pasti akan menjadi bulan-bulan gadis itu selama beberapa waktu kedepan.
"Beneran buat gue? dari lo kan?" Lea menepuk lengan Jiani, menyadarkan lelaki itu dari keterdiaman.
Jiani memutar bola mata malas. "Gue gak sebaik itu buat ngasih lo makanan secara percuma."
"Terus dari siapa?" tanya Lea lagi tambah penasaran.
"Siapa lagi kalau bukan ayang lo?"
"Mulut lo minta disumpel pake apel busuk!"
"Baikan gih Le, gue bosen banget dia datang cuma buat permaluin gue dikampus."
Lea membelalakan mata. "Apa-apaan, pacar lo aja mati-matian nyuruh gue buat gak baikan lagi sama dia, terus lo dengan gampangnya ngomong kayak gitu?"
"Alah gue juga tahu kali, lo masih suka sama Sajune kan?"
"Gak ada ya, lo kenapa seneng banget liat gue naik pitam sih?"
Jiani kembali merotasikan matanya mendengar Lea. "Terus maksudnya apa curi-curi pandang sama Sajune dikedai semalem?"
Lea menahan nafas sejenak. "Tau dari mana lo gue kesana?" tanyanya setengah gugup.
"Ya taulah, gue kan Jiani." jawab Jiani menepuk dadanya bangga.
"Lo nguntitin gue sama Mama ya?" tuduh Lea.
"Gue gak segabut itu buat ngikutin orang kali."
"Terus lo tau dari siapa?"
"Dari Sajune lah, dari mana lagi? bener kan lo curi-curi pandang sama dia?"
Lea mengalihkan pandangannya dari Jiani "Ngarang kali dia, yakali jelas-jelas didepan gue ada Mama, mana berani gue."
"Cara ngeles lo bagus juga Le, jujur aja kali."
"Seberapa keraspun gue coba cari pembelaan, kayaknya tetap bakalan salah dimata lo."
Lalu Jiani menyandarkan diri pada punggung sofa, menoleh dan memandang Lea selama beberapa saat. "Jujur aja Lea, lo masih ada rasakan sama Sajune?"
"Gue harus ngomong berapa kali lagi sih Ji, gue gak pernah ada rasa sama dia!" sanggah Lea setengah kesal.
"Terserah lo deh, tapi gue gak semudah itu buat dibohongi Le. Gue cuma mau lo jangan bohong sama diri lo sendiri. Jujur aja Lea, lo cuma perlu jujur."
Lea menggigit bibirnya kemudian tertunduk perlahan, tiba-tiba hatinya berdenyut sakit kala teringat momentum kemarin malam.
"Gapapa gak ngomong ke gue, tapi cukup jujur sama diri lo sendiri."
"Gue terlalu denial ya Ji?"
Jiani menaikan bahu. "Mungkin,"
"Kadang, ada masanya gue ngerasa bahwa perasaan aneh itu harus gue hapus demi Mama. Bagaimanapun Sajune yang udah bawa dan menjerumuskan gue ke gudang masalah. Tapi Ji, gue juga kadang ngerasa kosong dan ngerasa kehilangan dia."
"Gue paham kok, Sajune memang udah buat kesalahan yang cukup fatal. Tapi gue suka kepikiran, apa ada pria lain yang mampu narik perhatian lo sampai kadang gue lihat lo keliatan buta dihadapan Sajune."
Lea menggaruk tengkuk perlahan dan tertawa menyadari kebodohannya sendiri. "Gue keliatan bodoh ya Ji?"
"Enggaklah, perasaan itu gak ada yang bisa ngatur, seberapa keraspun lo menampik perasaan itu hati lo gak bakal bisa bohong. Kayaknya kalau ada Gris disini, dia pasti bakal nyela ucapan gue 'banyak kok pria dibelahan muka bumi ini' tapi gue sering kepikiran ya siapa? siapa yang dapat mengalahkan posisi Sajune dimata lo?"
"Jujur, kangen banget gue sama Sajune. Tapi semalem dia pergi kekedai sama cewek, kayaknya bukan Angeline deh gak tau siapa." lirih Lea merasa kecewa.
"Adik Mamanya itu. Sama Angeline udah putus katanya."
"Iya gitu? demi apapun cakep banget Ji. Kok gue gak pernah liat waktu Sajune masih tinggal disini?"
"Gue juga baru tahu pas dia cerita kemarin, tinggal diluar negeri katanya, jarang pulang juga. Sajune juga pelit kalau disuruh cerita tentang keluarganya."
Senyum seindah rembulan perlahan terbit diwajah Lea. Lambat laun hatinya merasa mulai ditumbuhi oleh banyak bunga, sekaligus juga lega.
"Udah lega kan sekarang? tapi saat ini masalah utamanya ada di Mama lo. Mampus lo bakal menderita lagi."
Lea merutuk kesal, Jiani ini memang tipikal orang yang mampu membawanya merasa aman dan tenang, namun sedetik kemudian pemuda itu juga mampu menjatuhkannya dari tebing yang paling tinggi. Lea mendesis dalam hati, tak lupa ia segera mendaratkan tangannya keras-keras dilengan pemuda itu.
"Mulut lo emang gak pernah berubah!"
KAMU SEDANG MEMBACA
How Can I Love The Heartbreak (SELESAI)
FanfictionLea merasa hidupnya semakin kacau ketika Sajune mulai memperlihatkan sikap obsesifnya begitu saja, persahabatan yang mereka jalin setelah sekian lama terpaksa hancur begitu saja kala Sajune lambat laun menarik ia kedalam labirin cinta tanpa bisa Lea...