Lusanya, Mama berulangkali memaksa agar tetap ikut setelah Papa memerintahkan Lea pergi menemui Sajune untuk memutus hubungan diantara mereka.
Lea tentu menolak dengan halus, mencoba membujuk Mama dengan segala cara supaya wanita itu memahami kondisinya.
Melalui pesan whatsapp, Lea memberi pesan pada Sajune agar menemuinya dikafe kota sore hari, tanpa membalas secuilpun pesan kekhawatiran Sajune disana.
Maka hari yang ditunggu-tunggu itu telah tiba, Lea masih berdiri memeriksa degup jatungnya sejenak sebelum Mama datang membangunkan lamunannya.
"Mama duduk disitu ya." tunjuk Mama, menunjuk kursi paling ujung dikafe tersebut. "Kalau ada apa-apa kamu jangan lupa teriak."
"Sajune gak sejahat itu Ma."
Mama menyimpan telunjuknya didepan bibir Lea, "Diam, jangan ngebela orang itu terus didepan Mama."
Lea mendengus berat menanggapi Mama, ia kemudian melangkah dan duduk sembari mengedarkan pandangan.
Lima menit menjelang, sosok yang ia tunggu sudah ada didepan pintu, terlihat meniti sekeliling untuk menemukan presensi Lea.
Dengan senyum pedih, Lea melambai memberi tahu keberadaannya. Degup jantungnya semakin tak karuan, Sajune semakin mendekat.
"Kamu baik-baik aja Lea?" Sajune sudah meraih tubuh Lea, menenggelamkan diri dibahu Lea tanpa memedulikan sekitar.
Lea merasa tak nyaman, ia perlahan mendorong tubuh Sajune menjauh. "Jabgan gini, orang-orang pada liat!" peringatnya tanpa ekspresi lebih.
"Maaf aku terlalu antusias buat ketemu kamu, kamu kesini dateng sendiri?"
"Kita akhiri semuanya sampai disini ya June."
Bukan jawaban yang Sajune dapatkan, penantiannya dihadiahi hal menyakitkan seperti ini, Sajune tak percaya, dan masih menganggap semua itu sebagai candaan.
"Lea aku tahu, Mama kan yang nyuruh kamu buat ngelakuin itu?-" ada jeda yang menyelimut selama beberapa detik. "Aku tahu Mama sekarang benci sama aku, tapi aku janji bakalan ambil hati Mama lagi secepat mungkin, tapi kamu jangan mau mengakhiri semuanya secepat itu sama aku."
Sajune berkata serius, ia lalu mengambil tangan Lea dan menggenggamnya supaya perempuan itu percaya atas apa yang keluar dari mulutnya.
"Bukan Mama yang mau June, aku yang mau." tegas Lea mulai mengangkat pandangan dan menatap Sajune serius.
"Kita baru aja mulai loh Le? kenapa harus secepat ini?"
"Cepat atau lamanya gak bakal ada yang beda June, emang dasarnya kita itu gak bisa bersama, gak bisa dipaksain."
Sajune melepas genggamannya, menatap Lea penuh kekecewaan. "Aku tahu ini bukan keinginan kamu, aku tahu kamu masih mau sama aku kan?"
"June lupain ya, aku tahu perasaan kamu itu cuma main-main. Kamu masih sayang sama Angeline June, kita benar-benar gak bisa."
Alis Sajune terangkat bingung, tak mengerti apa maksud Lea.
"Kalau kamu kira aku cuma main-main sama kamu, kamu salah Lea, aku enggak sejahat itu buat mainin kamu."
Lea terkekeh jahat mendengar perkataan Sajune. "Orang baik mana yang berani mukul dan nidurin lawan jenisnya tanpa ikatan pernikahan?"
Sajune tertohok sempurna, ia membelalak tak percaya, bukankah Lea sudah berjanji untuk tak membahas hal itu didepannya?
"Lea, kamu bilang kamu secara suka rela ngelakuin itu sama aku? tapi kenapa sekarang ucapan kamu berbanding terbalik dari apa yang kamu ucapin ke aku saat itu?"
Sungguh, bibir Lea sekarang sudah kelu. Ia tidak bisa membalas pertanyaan menyakitkan itu selantang tadi, melihat wajah Sajune yang kecewa saja sudah membuat hati Lea hancur berantakan.
"Jawab Lea! kenapa kamu diem aja?" Sajune berkata penuh getar, laki-laki itu menundukan kepala. "Beneran gak ada harapan ya?"
Lea benar-benar membisu, Sajune bahkan tak mendengar lagi suara perempuannya. Sajune mengusap wajah pelan sebelum beranjak, menatap sosok Lea yang tertunduk dalam.
"Gapapa, kalau itu mau kamu, kita bisa akhirin semua disini. Kalau kamu berubah pikiran, kamu bisa datang sama aku kapan aja. Terimakasih banyak Lea."
Sosok itu telah pergi, Lea memandangi kepergian Sajune dengan bibir mengatup sempurna. Tangis kembali tumpah ruah, diantara banyaknya pengunjung ditempat ini, Lea menunduk menyembunyikan derasnya air mata yang luruh seraya meratapi kepergian Sajune dengan hati terluka.
Mengapa perpisahan selalu sesakit ini? mengapa Lea harus merasakan hal yang paling ia hindari kehadirannya, mengapa semuanya tak dapat dipertahankan dan mengapa semesta tak bisa mencegah perasaan hancur itu hadir dalam hatinya?
Lea benci situasi ini, ia benci semua orang yang menyaksikan tangisnya, Lea tak mampu berbuat apa-apa selain mengasihi hatinya yang bernasib malang.
Usapan pelan dipuncak kepala berhasil menyadarkan Lea, ia menyeka air matanya kasar dan tersenyum menyadari kehadiran Mama.
"Kenapa gak kamu kejar?"
Pertanyaan Mama begitu aneh, Lea tak dapat menangkap maksud itu dengan cepat.
"Mama becanda?" kekehnya diakhir kalimat.
"Kejar Lea, Mama mau tahu seberapa besar perasaan sayang kamu itu sama dia."
Lea mengerutkan dahi masih dipenuhi kebingungan. "Kenapa harus? bukannya ini yang Mama mau?"
"Mama sama Papa semalam berubah pikiran. Kebahagiaan kamu itu lebih penting Lea, melihat kamu bersikap seolah semuanya baik-baik saja itu menyakitkan bagi kami. Mama mantau kamu sampai maksa kamu buat ikut cuma buat lihat seberapa besar keseriusan perasaan kamu dan Sajune, itu aja-"
"Kamu boleh kejar Sajune, kamu boleh menyatakan sepuas hati kamu sekarang bahwa kamu sayang sama Sajune seribu kali lebih banyak."
KAMU SEDANG MEMBACA
How Can I Love The Heartbreak (SELESAI)
FanfictionLea merasa hidupnya semakin kacau ketika Sajune mulai memperlihatkan sikap obsesifnya begitu saja, persahabatan yang mereka jalin setelah sekian lama terpaksa hancur begitu saja kala Sajune lambat laun menarik ia kedalam labirin cinta tanpa bisa Lea...