Tawa geli itu menggema diseluruh penjuru ruangan. Sajune tertawa senang melihat Lea cemburut kesal atas kekalahan perempuan itu untuk yang kedua kalinya.
Ini sudah hampir malam, namun Sajune masih betah menghabiskan sisa waktu istirahatnya bersama Lea seorang.
Dan Lea hampir habis kesabaran, tatkala pion miliknya terus menerus menginjak sebuah kotak dengan gambar kepala ular diujungnya.
"Udahan ajalah, nginjak ular terus." Pipi Lea mengembung lucu, membuat jari Sajune refleks mencubit pipi gadis itu gemas.
"Baru segini doang masa udah kesel?"
"Gak tau lah kesel banget, masa dari tadi cuma mentok diangka 70?"
Sajune menertawakan ekspresi Lea sekali lagi, tak lupa mengacak surai legamnya lembut dan mendekatkan diri untuk membawa gadis itu kedalam pelukan.
"Kamu kalau mode kayak gini bikin aku betah lama-lama buat tinggal disini."
Pipi Lea memerah kembali untuk yang kesekian kalinya. Mengapa dalam dua hari ini segala bentuk perlakuan Sajune selalu membuatnya berdebar secara bersamaan?
Tak ada yang memulai percakapan kembali setelah itu, Sajune dan Lea hanya menikmati wangi tubuh masing-masing tak lupa dengan senyum merekah yang menghiasi pipi keduanya.
Semesta mungkin akan murka tentang bagaimana sentuhan fisik itu hadir hingga menimbulkan perasaan hangat satu sama lain. Tapi entah apa yang ada dibenak Sajune dan Lea, segala bentuk batasan itu nyatanya dengan mudah mereka langgar hanya karena bisikan nafsu yang berbisik mesra ditelinga mereka.
Sajune mulai menelusuri tiap inci wajah ayu milik Lea yang menawan. Pelan tapi pasti, wajahnya mulai mendekat hingga hidung mereka saling bertabrakan.
Sedang Lea hanya diam dikala ribuan kupu-kupu datang menyerang. Tubuhnya begitu kaku.
"Aku ingin kamu malam ini, Lea."
Bukan kesadaran yang Lea dapatkan, ketidakwarasan atas tindakan Sajune selanjutnya mampu membuat tembok Lea roboh begitu saja.
Hal yang selanjutnya terjadi adalah sesuatu yang tak pernah Lea pikirkan sebelumnya. Tentang bagaimana Sajune membuatnya jatuh hingga menyerahkan seluruh raganya kedalam pelukan pemuda itu tanpa syarat.
Alunan melodi baru dari sebuah televisi digital seolah mendukung suasana yang tengah terjadi hari ini.
Pada akhirnya mereka sama-sama tenggelam dalam labirin dosa yang menyelimuti jiwa.
Sekitar pukul lima lewat tiga menit waktu dini hari, Lea terperanjat syok melihat keadaannya pagi ini. Ia memukuli kepalanya sendiri, sadar atas tindakan bodoh yang telah ia lalui bersama Sajune malam itu.
"Tuhan..." sesalnya begitu pelan.
Untuk menenangkan pikirannya yang berbelit-belit, Lea turun dari ranjang memungut sebagian kecil pakaiannya yang berserakan lalu pergi memasuki kamar kecil disana.
Mengusap wajah kasar, Lea menghembuskan nafas sembari menatap sosok Sajune yang tengah terlelap menghadap kearah jendela. Setelah mencoba menghilangkan semuanya sedikit demi sedikit, Lea memilih untuk pergi keluar hendak membuat sarapan guna menghentikan bunyi perut yang terus merengek meminta untuk diberi sepotong roti.
Setelah meletakan piring dan secangkir minuman diatas meja, Lea mendudukkan diri didekat jendela, kepalanya berdenyut sakit, mengingat hal apa yang telah ia lakukan semalam.
Sibuk mengutuk diri sendiri, Lea tak sadar sedari tadi ada seseorang yang menunggunya dibelakang. Sajune tersenyum lebar begitu melihat kehadiran Lea didekat jendela. Ia tak perlu berpikir lama untuk segera mendekap Lea dari belakang.
"Selamat pagi Lea."
Jantung Lea berdegup amat kencang. Selalu saja begini, semua perbuatan Sajune tak pernah bisa ia prediksi kedatangannya. Lea tersentak lagi kala hidung Sajune menyentuh pipinya.
"Lepasin, jangan sentuh gue!" Lea melepaskan diri, tak ada senyum yang terbit dari sana.
Sajune mencebikkan bibir kesal. "Kamu gak lupakan sam-"
"Stop!" Lea berjinjit membungkam bibir lelaki didepannya sebal, apa yang terjadi malam itu sungguh membuatnya menjadi gila.
"Sekali lagi lo bahas itu, gue gak segan-segan buat nonjok lo saat ini juga!" Marah Lea dan berderap pergi meninggalkan lelaki itu kearah dapur.
Sajune tersenyum kecil mengikuti langkah Lea. Ia kemudian duduk disalah satu kursi sembari menuangkan air putih pada sebuah gelas kecil disana.
"Hari ini kamu ada agenda apa?" tanya Sajune setelah berhasil meneguk air putih.
"Ngampuslah kenapa emang?"
"Tadinya aku mau ngajak kamu jalan-jalan."
Lea mengernyit bingung, tumben sekali Sajune tidak memaksa Lea untuk menuruti keinginan lelaki itu.
"Lo gak kuliah? lagian tumben-tumbenan, biasanya juga maksa terus."
"Kapan aku maksa kamu?"
"Lo jangan bikin gue emosi ya pagi-pagi!"
"Kok emosi? emang aku ngapain?"
Tak mengindahkan pertanyaan Sajune Lea memalingkan pandangannya lurus. "Istirahat aja ya hari ini. Lo juga belum pulang dari kemarin, jangan lupa kabari dulu pacar lo. Gue gak mau buat masalah sama dia!"
"Gak bakal, dia juga tahu aku deket banget sama kamu."
Lea mengulum bibir sejenak dan menoleh kearah pemuda disampingnya. "Udah ya, sarapan dulu gih, kalau mau pulang panggil gue dikamar."
Pergi meninggalkan Sajune, Lea merebahkan diri sembari membawa dirinya pergi berlalu menginjak sebuah memori kecil yang ia ukir bersama Sajune.
Sibuk tenggelam bersama ingatannya, Lea mengerjap kala Sajune membuka pintu kamarnya pelan.
"Aku pulang dulu Le."
Lantas Sajune berjalan mendekat. Mengusap pipi Lea pelan, dan mengucap kata kecil hingga menyebabkan otak Lea sibuk menerka-nerka.
"Terimakasih untuk tadi malam Lea."
Ada yang janggal dihatinya.
KAMU SEDANG MEMBACA
How Can I Love The Heartbreak (SELESAI)
FanficLea merasa hidupnya semakin kacau ketika Sajune mulai memperlihatkan sikap obsesifnya begitu saja, persahabatan yang mereka jalin setelah sekian lama terpaksa hancur begitu saja kala Sajune lambat laun menarik ia kedalam labirin cinta tanpa bisa Lea...