11 Sebuah Keputusan

7.7K 642 37
                                    

11 Sebuah Keputusan

Paula tersenyum puas melihat putranya menjadi begitu penurut kepada Gracia semenjak wanita itu hamil. Ia sangat bersyukur. Disaat dirinya barusaja akan merencanakan berbagai cara untuk menjebak Lukas, namun ternyata semesta lebih dulu berpihak kepadanya. Paula yakin inilah cara Tuhan menunjukkan bahwa Gracia dan Lukas memang berjodoh.

Yang membuat Paula terganggu saat ini adalah kehadiran Oliver. Anak itu sama sekali tidak pantas menjadi cucu keluarga Abraham. Apalagi bocah itu lahir dari wanita yang tidak ia harapkan menjadi menantu. Dari wanita berlatar belakang rendah dan murahan! Paula sangatlah jijik.

"Oliver, jangan menempel terus dengan papamu. Sana pergi, makan saja dikamarmu!" Tegur Paula kesal.

"Maa...." Lukas menyela ucapan ibunya.

"Calon anak kamu juga butuh perhatian Lukas! Seharusnya dia dititipkan saja di panti asuhan!" Paula mengambil piring milik Oliver, dan menyeret anak itu untuk beranjak dari meja makan. Namun niatnya itu segera terurung ketika suaminya tiba-tiba datang.

"Jaga mulutmu." Abraham yang baru menampakkan diri, langsung menghampiri meja makan dengan raut yang sangat dingin. Ia pun menggendong cucu kesayangannya yang kini mulai terisak. Kakek memang selalu menjadi tempat berlindung ternyaman untuk para cucu diluar sana.

"Sayang, kamu kemana aja semalam? Kenapa datang-datang marah? Kamu tahu alasan kenapa aku suruh Oliver makan di kamar? Itu karena saat ini Gracia hamil, dan dia butuh perhatian suaminya. Jika Oliver terus menempel, anak Lukas bersama Gracia tidak akan kebagian kasih sayang. Anak mereka adalah calon pewaris yang sesungguhnya, bukan Oliver!" Cerorcosnya panjang lebar.

"Oliver adalah cucuku, dia akan menjadi pengganti Lukas di masa depan. Aku sudah menyiapkan saham dan bagian untuknya, jadi jangan berbuat semena-mena."

"Dia bukan cucu..."

"Dan jika anak Gracia perempuan, aku tidak akan memberinya bagian sedikitpun. Oliver yang akan memimpin segalanya. Jadi perlakukan dia dengan baik." Abraham memotong ucapan istrinya, lalu membawa cucunya pergi. Lukas hanya mendesah lelah dengan pertengkaran yang selalu saja terjadi di rumah.

"Mama juga keterlaluan, kenapa selalu membenci anakku? Oliver tidak salah apa-apa! Mama boleh benci ibunya, tapi dia tetaplah cucu kandung mama!"

"Tapi mama benar, aku juga butuh kamu." Gracia ikut berbicara dengan nada tak terima. "Kamu juga harus bisa bersikap adil. Kamu lihat sendiri papa lebih sayang Oliver! Jika kamu juga hanya menyayanginya, anak kita bagaimana?"

"Oke, habiskan sarapanmu. Nanti kita kedokter." Lukas membelai rambut wanita yang sedang bersikap manja itu untuk meredakan emosinya. Ia tidak mau memperpanjang perdebatan. Lukas tidak mau menyakiti wanita yang tengah mengandung anaknya.

"Semoga saja kamu mengandung anak laki-laki. Aku akan bicara dengan Abraham! Pria itu menyebalkan sekali. Dia sudah pulang telat, lalu berbicara seenaknya."

Paula berjalan mengikuti suami dan cucunya ke arah kamar. Ia sebal sekali dengan Abraham. Kenapa suaminya susah sekali menurut padanya? Padahal apa yang ia lakukan juga demi menjaga nama baik keluarga, dan menjaga nama baiknya sebagai pemimpin perusahaan.

Sesampainya di kamar ia langsung menatap tajam kepada pria yang tengah berganti baju dengan setelan casual yang lebih santai.

"Jika kedatanganmu hanya akan membuatku pusing, mending diam dan biarkan kami beristirahat." Cerca Abraham sebelum Paula berkata-kata.

"Dari mana kamu semalam?"

"Mencari jalang."

"Abraham!"

Bukan PenggodaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang