7• Meet Again

1.5K 229 204
                                    

Ada 3 hal untuk mengapresiasi penulis: pertama vote, dua komen, tiga share. Btw, jangan silent reader, ya!❤️

Typo bersebaran harap di maklumi, namanya juga manusia. Tapi, jika berkenan tolong di tandai agar nnti bisa di revisi.

"Ambillah risiko yang lebih besar dari apa yang dipikirkan orang lain aman. Berilah perhatian lebih, dari apa yang orang lain pikir bijak. Bermimpilah lebih dari apa yang orang lain pikir masuk akal."

- Claude T. Bissell

❥˙ Happy reading ❥
_____________________

Pria bertubuh tegap baru saja turun dari tangga dengan pakaian yang sangat rapi, di sertai dengan sebuah tas di tangan kanannya. Ia berjalan ke arah meja makan, di mana sudah ada Jean yang sedang mengoles roti sendirian. Anak itu langsung menatap ke arah Abizar dengan seulas senyum yang merekah, sampai-sampai matanya menyipit dan lesung pipinya tampak di kedua pipinya.

"Pagi, Pa." Jean, menyapa hangat sang ayah yang baru saja turun.

Abizar tersenyum, jelas lelaki itu akan menyambut anak pertamanya dengan sangat  baik. Maka, ketika Jean menyambutnya dengan ucapan, ia pun membalasnya dengan nada paling tenang.

"Pagi."

Tapi, tak berselang lama dari Abizar duduk. Di arah yang tak jauh dari tempat makan, seseorang berjalan mendekat. Ia tersenyum dengan sangat hangat, namun sayangnya, orang-orang yang ada di meja makan tidak ada yang menghiraukan kedatangannya.

"Pagi semuanya."

Hening, ketika suara Jevian mengudara, sapaanya seperti tidak ada artinya. Tidak ada tanggapan, atau pun sambutan. Papa dan Abangnya hanya fokus terhadap roti yang sudah mereka genggam. Sedangkan Jevian, anak itu hanya mampu terkekeh samar. Seharusnya, Jevian sudah kebal dengan sikap yang mereka berikan. Tapi, sampai sekarang ia masih merasakan sesak setiap kali kehadirannya tidak pernah di harapkan.

Dengan begitu, Jevian langsung mendudukkan tubuhnya dan segera mengambil dua helai roti untuk ia sarapan. Jevian sadar, bahwa Papanya sedang memperhatikan dirinya dengan tatapan yang begitu tajam. Jevian tahu, Papa masih sangat marah kepadanya. Apalagi, lebam di wajahnya masih kentara dengan begitu jelas.

"Lebih baik Papa makan di kantor. Papa tidak nafsu makan, apalagi satu meja dengan anak yang berandal."

Suara Papa akhirnya terdengar. Lelaki paruh baya itu nampak memundurkan kursi dan hendak ingin pergi dari meja makan. Jevian yang baru saja ingin menyuapi roti kemulutnya seketika langsung terdiam. Lalu, menaruh kembali roti yang sudah ia genggam ke dalam piring. Jevian tahu yang di maksud Papanya adalah dirinya.

JevianTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang