24. Aku Anak Papa, Kan?

1.6K 173 217
                                    

Ada 3 hal untuk mengapresiasi penulis: pertama vote, dua komen, tiga share. Btw, jangan silent reader, ya!❤️

Typo bersebaran harap di maklumi, namanya juga manusia. Tapi jika berkenan, tolong di tandai agar nnti bisa di revisi. Terima kasih.

"Selama ini kau hebat, hanya saja kau tak di anggap

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Selama ini kau hebat, hanya saja kau tak di anggap."

˙❥Happy reading❥˙

Jevian membuka mata perlahan, ia menelisik ke segala arah ruangan bernuansa abu yang seperti tidak asing baginya. Seingatnya, kemarin ia masih berada di jalanan. Tetapi, sekarang ia malah sudah berada di rumahnya, dengan beberapa alat medis yang tak jauh dari letak ranjangnya.

Jevian kira, kemarin adalah hari terakhir ia berada di tempat ini. Tempat yang sama sekali tidak pernah menerima kehadirannya. Tetapi, ternyata Tuhan masih menyayanginya dengan cara membiarkannya tetap bertahan hidup. Meski berkali-kali, nyawanya hampir berhenti.

Jevian meringgis, pada saat menggerakkan tubuhnya. Tulang-belulangnya terasa seperti remuk, semuanya terasa sakit.

Jevian tidak tahu harus apa, yang jelas obsidiannya tak sengaja melihat ke arah sofa yang terletak tak jauh dari ranjangnya. Ia kira, hal pertama yang akan ia lihat adalah Papa-nya. Namun, ternyata harapan itu adalah sebuah angan.

Jevian ingat dengan betul, bagaimana lelaki paruh baya itu mengatakan bahwa sampai kapan pun, ia tak sudi menyayanginya sebagai seorang anak pada umumnya.

Jevian tau itu semua. Abizar tidak akan mungkin sudi menunggunya meski dalam keadaan sekarat sekali pun.

Panas di dada Jevian kini merambat ke mata. Membakar sampai di sana tidak ada lagi yang tersisa selain kecewa. Yang melebur bersama nyaring suara patah dari dalam dadanya.

"Seenggaknya, Papa masih perlakuin aku layaknya manusia."

Setelah bergumam seperti itu, Jevian tertawa nanar. Meski akhirnya, air matanya tiba-tiba saja luruh membasahi pipinya.

Di saat seperti ini, Jevian benar-benar merasa tidak ada artinya. Atau memang dari awal, ia memang tidak berarti bagi siapa-siapa, termasuk bagi dirinya sendiri.

Setelah kata-kata telak dari Abizar beberapa hari lalu terus mendengung di telinganya, rasanya Jevian ingin sekali membenturkan kepalanya pada dinding. Atau, jika boleh, ia lebih baik terlelap lebih panjang dari ini.

Terkesan tidak bersyukur memang. Tapi, hanya pada saat seperti itu ia merasa tenang. Tidak berisik seperti sekarang.

"Jev?" suara lembut itu membuat Jevian buru-buru menyeka air matanya.

Bi Minah tak boleh melihatnya serapuh ini. Dengan cepat, ia segara tersenyum selebar mungkin. Meski hatinya masih terus menangis. Biarkan ia kembali melanjutkan sandiwaranya lagi.

JevianTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang