23. Harusnya, aku aja yang mati 'kan, Pa?

1.6K 168 312
                                    

WARNING!

Chapter ini hanya bisa dibaca oleh umur di atas 17 tahun. Segala macam bentuk kekerasan dalam skenario tidak patut untuk ditiru. Cerita ini adalah fiksi, diharapkan kebijakan dari setiap pembaca. Terima kasih.

˙❥Happy reading❥
_______________________

Jevian tidak tahu hal apa yang membawa langkahnya pergi ke depan kamar Jean. Mimpinya beberapa menit yang lalu cukup membuatnya gelisah dan hal itu tampaknya membuat Jevian tidak bisa kembali tertidur dengan nyeyak. Jevian tahu mimpi adalah bunga tidur. Tapi, tak menutup kemungkinan hal itu bisa menjadi nyata bukan?

Sudah beberapa menit ia mematung di depan pintu tanpa berani masuk. Padahal pintu kamar itu tampak terbuka sedikit. Namun, Jevian tidak bisa mengintip apa pun dari celah-celah itu, sebab di dalam kamar Jean minim penerangan. Ia juga takut mengganggu kakakny yang kemungkinan sudah tertidur jika masuk dengan lancang.

Dengan langkah pelan Jevian berusaha membalikan badannya. Namun, ia tak menyadari kehadiran Lucy—kucingnya yang sedari tadi berdiam diri di belakang. Hal itu praktis membuat Jevian terkejut dan berakhir terjatuh hingga masuk ke dalam kamar Jean.

Susah payah Jevian menahan untuk tidak masuk, tetapi peliharaannya satu ini malah membuatnya masuk dengan cara yang sangat tidak estetik. Jevian jelas berdecak sembari mengusap bokongnya yang terasa linu.

"Luc...," belum sempat Jevian protes, tetapi Lucy lebih dulu berlari ke arah dalam. Hal itu membuat Jevian panik untuk yang ke dua kalinya.

Lucy terus mengeong, dan hal itu terpaksa membuat Jevian masuk ke kamar Jean—kamar yang sudah begitu lama tidak pernah ia tapaki setelah beberapa tahun yang lalu.

Jevian seketika langsung mengatupkan mulutnya ketika melihat ada seseorang yang sudah terbujur kaku di lantai. Jevian tidak tahu itu kakaknya atau bantal guling yang terjatuh, yang jelas langkah pertama yang ia ambil adalah menyalakan saklar lampu terlebih dahulu.

Jevian langsung membulatkan matanya ketika melihat bahwa yang tergeletak dilantai adalah Jean. Sebenarnya bukan hanya itu yang membuat Jevian terkejut. Tetapi, ketika netranya melihat ada banyak busa yang keluar dari mulut Jean. Hal itu membuatnya segera menghampiri dan membawa tubuh Jean ke pangkuannya dengan tangan yang bergetar.

"Astaghfirullah, Jean, lo kenapa?" tanyanya panik.

Lalu netranya kembali menatap ke arah botol kecil yang Jean genggam. Jevian segera mengambil botol itu.

"Obat penenang," gumamnya. "Lo minum semua?"

Jevian tak habis pikir, dia kira Jean adalah orang paling pintar yang membuatnya merasa iri. Tetapi, melihat bagaimana lelaki ini melakukan hal bodoh dengan cara menghabiskan seluruh obat penenang yang dosisnya sangat tinggi itu hingga habis, Jevian rasa ia dan Jean tidaklah berbeda jauh dalam hal ini—bodoh.

"Ck, ternyata lo lebih bodoh dari pada gue Jean."

"Katanya lo pintar, tapi kenapa lo lakuin ini semua?"

"Kenapa lo minum obat yang dosisnya tinggi?"

"Ini emang bisa buat lo tenang, tapi bisa beresiko tinggi juga."

Jevian mengepalkan tangannya kuat-kuat, lalu ia memukul lantai dengan kencang. Bukan kesal, justru melihat keadaan Jean yang seperti ini membuat dada Jevian terasa sesak. Ia takut, Jean kenapa-kenapa.

Jevian kira, yang membutuhkan ketenangan itu hanya dirinya. Ternyata tidak. Bahkan Jean yang selalu terlihat baik-baik saja di matanya ternyata bisa melakukan hal nekat seperti ini juga. Tetapi kenapa? Padahal, dia memiliki semua yang tidak ia miliki. Jean memiliki seluruh perhatian dan kasih sayang dari Papa. Jean sama sekali tidak pernah kekurangan apa pun. Tetapi, kenapa ia bisa melakukan ini? Apa karena ... Ia masih menyimpan luka karena meninggalnya Mama?

JevianTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang