♡Happy reading♡
Waktu terus berlalu tanpa jeda, menyisakan perih yang masih tertinggal di masa yang sudah lampau. Dedaunan mungkin bergerak sesuai dengan angin yang berhembus, juga kendaraan yang berlaju oleh bahan bakar.Dari tahun ke tahun memang banyak yang berubah di bumi Pertiwi ini. Namun, tidak semuanya berubah. Ada yang berhenti di waktu lalu hanya untuk mendekap pilu. Memaksa waktu untuk berhenti dan mengemis agar tak ada yang pergi di waktu itu.
Bagi Jevian, dari tahun ke tahun itu sama saja. Tidak ada yang berubah, kecuali bentuk tubuh dan tinggi badannya. Sedangkan rasa sakitnya masih sama seperti saat ia masih berumur 7 tahun. Di mana waktu itu Jevian tahu tentang satu hal, bahwa ternyata ... tidak pernah ada dia di hati Papa.
Jevian ingat betul, waktu itu Papa pulang membawa sebuah jinjingan yang berisi mainan. Dengan begitu ia berlari dengan raut wajah yang senang ke arah Papa. Dengan tangan yang ia rentangkan lebar, Jevian berharap Papa mau memeluknya. Namun, ketika tinggal beberapa langkah untuk mendekap tubuh yang tak pernah ia sentuh itu, Jevian lagi-lagi gagal sebab Jean sudah terlebih dulu Papa dekap.
Jevian langsung berhenti berlari detik itu juga, dengan wajah yang menunduk karena tak mampu lagi melihat ke arah depan. Di mana Papa sedang menggendong Jean dengan penuh kasih sayang.
"Papa, kenapa baru pulang? Jean udah nungguin Papa tahu!"
"Maaf ya sayang, Papa tadi ada meeting. Sebagai bentuk permintaan maaf, Papa beliin mobil-mobilan yang Abang mau."
"Papa serius? Asyik! Abang sayang Papa."
"Papa juga sayang, Abang."
Dengan suara yang samar, juga tubuh yang terasa bergetar. Jevian memberikan diri untuk bertanya, "Jevian juga di beliin mainan nggak, Pa?"
"Tidak. Saya hanya membeli satu, hanya untuk, Jean."
Mendengar itu, Jevian hanya mengangguk lesu. Lalu, Papa bangkit sembari menggandeng lengan Jean. Meninggalkan Jevian sendirian yang masih setia menundukkan kepala. Jevian tidak tahu, kenapa bagian dadanya terasa seperti di pukul. Rasanya sesak.
Papa sama sekali tidak melihat sedikit pun ke arahnya, bahkan pada saat ia bertanya tadi. Padahal, jarak ia dengan Papa tidak terlalu jauh, hanya butuh dua atau tiga langkah. Tetapi, Papa beranjak lebih dari itu, dan Papa melewatinya.
"Kenapa Jevian nggak pernah di peluk sama, papa?"
"Kenapa, Jevian nggak pernah di gandeng sama papa?"
"Kenapa, Jevian nggak pernah di beliin mainan seperti Papa beliin mainan buat abang?"
"Jevian juga mau kaya abang."
Pada akhirnya, usaha Jevian untuk tidak menangis hanya sia-sia, sebab setelah itu ia memilih untuk menangis tanpa suara.
Ingatan itu selalu berputar dalam memorinya. Mengingat bagaimana semua orang di rumah memandangnya dengan tatapan tidak suka. Padahal, sudah bertahun-tahun Jevian berusaha agar kehadirannya mampu di terima. Meski, tujuh belas tahun usahanya tidak pernah berefek apa-apa.
"Udah 17 tahun, tapi Papa sama abang masih nyalahin aku, Ma," monolognya sembari terkekeh pelan.
"Kata mereka, hadirnya aku di dunia ini cuma malapetaka. Soalnya, gara-gara aku lahir, Mama pergi ninggalin mereka."
Lirihan itu lagi-lagi keluar dari bibirnya, entah sudah berapa kali ia mengadu, tentang pilu yang mendekapnya tiap kali hujan datang.
"Padahal, aku juga sama-sama ditinggalkan—" ada jeda di sana, Jevian menanggalkan monolognya hanya untuk menarik napas dalam-dalam, merasakan sesak yang semakin membuat dadanya teremas kuat-kuat. Perih.

KAMU SEDANG MEMBACA
Jevian
Novela Juvenil[Sicklit, Angst] [SEBELUM BACA, JANGAN LUPA FOLLOW!] ••• "Kira-kira, bagian mana ya, yang Tuhan tunjukkan ke saya sampai-sampai saya mau lahir ke dunia?" ©AlyaAS Started: Selasa, 05-24-2022 Cover by Octopus Design