Ada beberapa hal untuk mengapresiasi penulis: follow akun ini, vote, komen, dan share cerita ini jika memang menurut kalian, cerita ini layak untuk banyak yang baca. Tapi, jika keberatan gapapa, terima kasih banyak karena sudah mau membaca❤️
Typo bersebaran harap di maklumi, namanya juga manusia. Tapi, jika berkenan tolong di tandai agar nnti bisa di revisi.
Note; part kali ini agak panjang, semoga kalian nggak suntuk bacanya.
˙❥Happy reading❥˙
"Gue rasa, lo udah terlalu brengsek!"
Suara seseorang memecah tenang yang Abizar miliki. Lelaki itu segera menoleh ke arah pintu di mana seseorang berhasil mengusiknya ketika sedang bekerja.
Pakaian berwarna biru di balut jas putih, serta stetoskop mengalung di leher seorang lelaki yang sangat ia paham dengan betul. Itu Jeremy, sahabatnya.
Abizar tidak menanggapi apa pun, ia kembali fokus terhadap laptop yang ada di hadapannya. Hal itu berhasil membuat Jeremy berjalan mendekat dengan kedua tangan yang terkepal.
"Gue nggak sengaja denger percakapan Jevian sama art lo di kamarnya. Dan hal itu yang buat gue ngurungin niat buat periksa keadaan dia."
"Selama ini lo perlakuan anak lo kaya gitu, Zar? Gila lo!"
"Kalo lo nggak becus rawat dia, biar gue aja yang rawat!"
Abizar kembali mendongkak seraya membalas tatapan tajam dari arah depan. Tangan yang semula sibuk mengetik kini berubah menjadi sebuah kepalan.
"Lo nggak usah ikut campur, karena lo nggak tau apa-apa!" Abizar mendecih pelan, seraya melemparkan tatapan tak suka.
Jeremy jelas tertawa, seraya menatap remeh ke arah Abizar.
"Ibaratnya kematian Rania. Anak lo nggak tau apa-apa. Tapi lo? Malah nyalahin dia sampe-sampe dia ngerasa kalo hadirnya dia ke dunia adalah sebuah kesalahan. Padahal, di sini lo yang salah."
Amarah Abizar semakin terpancing, ia berdiri sembari mengebrak meja kerjanya dengan keras.
"Gue udah bilang, ini bukan urusan lo!"
"Ini urusan gue!"
"Rania selalu cerita sama gue kalo lo begitu menginginkan anak perempuan. Tapi, Tuhan berkata lain. Lagi-lagi Tuhan titipin jagoan di perut istri lo. Gue udah pernah bilang kalo kandungan dia kali itu benar-benar lemah. Resikonya bisa nyawanya sendiri. Tapi, Rania terus kekeh dan mau tetap pertahankan kandungannya. Dia rasa anak itu pantas untuk tetap hidup. Tapi, andai dia tau, kalau anak yang dia pertahankan untuk tetap hidup, justru malah di buat hancur sama perbuatan ayahnya sendiri, gimana ya? Pasti dia nyesel banget karena udah ngira bajingan kayak lo itu baik."
Abizar geram, tangannya mengepal dengan kuat. Matanya memerah, urat-urat di lehernya tampak dengan begitu jelas. Rahang di wajahnya ikut menegas seiring dengan suara retak di dalam dada.
Seperti harimau di bangunkan sedang saat tertidur, rasanya Abizar ingin segera mencakar habis seseorang di hadapannya. Namun, dering dari saku jas Jeremy membuat amarah Abizar tertahan.
"Halo, dok, pasien atas nama Jean Arkana Danuar koleps."
Suara wanita di dalam telepon membuat Jeremy memaku di tempatnya. Ia sempat terdiam beberapa saat sebelum akhirnya menjawab.
"Baiklah, tolong tunggu, sebentar lagi saya ke sana."
Jeremy segera memutus telepon, lalu menatap kembali ke arah Abizar. Ia menghela napas terlebih dahulu, mengurangi emosi yang masih naik turun akibat perdebatan beberapa menit lalu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Jevian
Teen Fiction[Sicklit, Angst] [SEBELUM BACA, JANGAN LUPA FOLLOW!] ••• "Kira-kira, bagian mana ya, yang Tuhan tunjukkan ke saya sampai-sampai saya mau lahir ke dunia?" ©AlyaAS Started: Selasa, 05-24-2022 Cover by Octopus Design