Prolog;

2.7K 184 2
                                    

21 Agustus, 2018

Bandara Soekarno- Hatta, Cengkareng.

"Nanti lo lupa nggak sama gue?" tanya gadis itu ragu- ragu. Selama ini, mereka berdua selalu barengan. Sejak duduk di bangku SMP sampai lulus sarjana. Rhea, nama gadis yang mengenakan celana pendek dan hoodie warna putih itu yang  sejak tadi  menggelendot di lengan sahabatnya, hanya bisa merengutkan bibirnya. "Gila sih, Ru. Kalau lo ke Aussie, siapa coba yang bisa gue suruh- suruh jadi sopir gue?" gadis itu merengutkan bibir.

"Ada Arkan," Aru menjawil hidung mancung nan mungil milik Rhea.

Rhea menatap sahabatnya itu dengan kesal. "Selalu hidung gue ya, Ru!" gadis itu mencebik.

Aru hanya tertawa. Sejujurnya kalau bukan karena permintaan ibunya untuk menuruti keinginan kakek dari pihak ayahnya, Aru tak ingin terbang jauh- jauh ke Australia untuk mengambil master dalam bidang bisnis. Aru sebelumnya sangat nyaman berada dalam kumpulan nerd. Erwin Andaru Sukmodihardjo adalah IT development perusahaan elektronik yang memproduksi alat rumah tangga, seperti oven listrik, air fryer, microwave, slow cooker, dan lain sebagainya. Namun karena sesungguhnya Aru berasal dari keluarga konglomerat pemilik Pilar  Indo Pharmacy, plus jaringan apotek dan produksi alat kesehatan, dan menurut sang kakek nggak ada yang pantas selain dia-- yang dulunya dianggap cucu terbuang-- yang bisa menggantikan posisi sang Tiran Sastrodinoto Sukmodihardjo.

Karena Sastrodinoto Sukmodihardjo hanya punya satu anak laki- laki, dan sudah meninggal dunia ketika berusia  masih sangat muda, yaitu 35 tahun, mata Sastro tertuju pada cucunya. Aru yang sudah diawasi sekian lama. 

Rhea masih menggelayut manja di lengan Aru, padahal mereka sudah berada di depan gerbang keberangkatan. "Kenapa sih nggak pengin gue pergi?" senyum Aru berubah hangat. Meskipun sudah punya Reina sebagai adik kandung, Aru tak pernah keberatan untuk memanjakan Rhea.

Pria itu mengacak rambut Rhea. Merasakan luapan rasa sayang untuk gadis yang sudah bersahabat dengannya sejak 14 tahun yang lalu.

Banyak sekali yang mengira bahwa mereka menjalin hubungan sebagai sepasang kekasih. Namun meskipun bekerja di gedung yang sama, Southern Bay Building , namun selama ini mereka cukup bisa menjaga hubungan di jalur yang benar.

Rhea tak ingin merusak kebersamaan mereka.

Arupun juga tak ingin kehilangan Rhea.

"Lo harus lebih perhatian sama Bhisma," Rhea lagi- lagi memberengut. Menunjukkan wajah tak suka. Dirinya merasa bahwa hubungannya dengan Bhisma Rasdianto bukanlah sesuatu yang menjanjikan. "Kenapa? Lo udah 24 tahun. Nggak bagus buat cewek kalo kelamaan main- main!" Aru melarikan jari- jemarinya untuk menjepit hidung Rhea, membuat gadis itu mengayunkan tangannya dan menggebuk tangan Aru kuat- kuat, sehingga pria itu membungkuk, mengaduh, sambil tertawa.

"Udah berangkat sana. Lo pokoknya wajib, wajib, wajib, wajib buat hubungin gue via email, skype, video call, chat, or whatever!" titahnya mutlak. Aru mengangkat tangan kanannya ke depan dahi, tanda menghormat. "Siap Ibu Ratu,"

"Gue juga minta tolong, awasin Reina kalau dia lagi di Jakarta, kasihan nyokap kalau tahu adik gue itu mulai nakal," 

Rhea memejamkan mata, mengangguk mantap, lantas mendorong punggung Aru untuk segera pergi. Pria itu hanya membawa ransel besar dan satu koper besar. Di Australia dia akan tinggal di Melbourne. Ada satu apartmen bekas adik ayahnya, tante Elsa, yang disediakan untuknya.

Rhea menatap kepergian sahabatnya itu dengan perasaan kosong yang tiba- tiba merambati hatinya. Entah apa yang salah.

***

"

No RegretsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang