Duapuluh Satu

772 112 1
                                    

Hamil memang menjadikanmu orang yang lebih sensitif, itu memang benar. Terbukti ketika wajah aristokrat Nia muncul dengan dandanan sophisticated, mendadak Rhea merasa  perutnya seperti diaduk- aduk dengan mesin molen. Mual.

Bibirnya yang pucat bertanya tanpa sisa energi. "Di mana toiletnya, Mbak?"

"Eemm..."

"Mel, tolong antar Rhea ke toilet." Nia memerintah salah satu bawahannya yang kebetulan saat itu berada di sekitar mereka.

Perintah putri memang mutlak. Hilang sudah wajah tolol dan senyum sukrosa gadis itu tadi, berganti dengan wajah sigap. Langkah tegap maju jalan,  mengantar Rhea dan Regan ke kamar mandi.

"Mbak udah pucet banget. Yakin nggak apa- apa. Kita pulang aja gimana?" Regan bertanya khawatir.

"Nggak bisa, Re. Gue udah terlanjur sampai di sini. Lagian gue ngomongnya juga nggak lebih dari dua puluh menit. Yang banyak ngomong itu ya pengisi seminarnya. Begitu buku dibagiin di segmen terakhir, gue sama Yunita akan berbicara bergantian. Gue minta teh panas deh buat ngeredain mual,"

"Mbak mual lagi?"

Rhea mengangguk malas- malasan. Masuk ke salah satu bilik toilet, Regan menunggu di depan pintu. Si Melly mengintip dari ujung lorong. Tatapan mau tahu, tapi Regan langsung menatapnya tidak suka. Melly mundur teratur.

Di dalam, Rhea memuntahkan buah potong yang dimakannya tadi siang. Satu- satunya makanan hari ini yang bisa masuk ke perut.

Rhea keluar sambil menggelosor, Regan segera memapah sang kakak dengan wajah gusar. "Kayak gini Mbak Rhea tetep mau maksain diri sampai segment terakhir?" tanya cowok itu bercampur sarkas.

Dalam hati ia mengutuk siapapun yang sudah membuat kakak perempuannya ini sengsara. Pikirannya masih tetap tertuju pada satu nama.

Bhisma Rasdianto Soeharso.

Karena Regan belum tahu kalau hubungan kakaknya dengan pria itu sudah berakhir, tepat sebelum ia nekat menawarkan ranjangnya pada Arkan.

Regan dan Rhea sudah sampai di ujung lorong kamar mandi, saat tiba- tiba kepala kakaknya terkulai di pundak Regan.

***

Dokter yang menangani Rhea bernama dokter Bintari, menyarankan agar Rhea menjalani rawat inap karena kondisi tubuhnya sangat lemah dan hampir malnutrisi.

Bobot tubuhnya yang semula konsisten di angka 48 kilogram, kini menyusut jadi 39 kilogram. Belum lagi tensinya yang hanya 80/60. Bisa dikatakan, kehamilannya ini berpotensi membunuh Rhea.

"Paling tidak kalau diopname, nutrisi bisa masuk lewat infus karena Bu Rhea sepertinya selalu memuntahkan makanannya, betul?" tanya dokter muda tersebut. "Anda keluarga?"

"Saya adik kandung,"

"Saya buatkan resep untuk vitamin dan penambah darah,"

***

Membuka mata, yang Rhea dapatkan malam itu adalah muka garang Dev dan wajah khawatir Bell. "Akhirnya lo bangun juga!" Dev berseru geram.

Lebih menyerupai kejengkelan daripada kelegaan. Dengan kaus oblong bergambar muka macan dan celana jins, bau matahari masih menempel ditubuhnya, sahabat Rhea itu seperti dicomot secara tiba- tiba dari pedalaman belantara tempatnya bertugas untuk meliput orangutan.

Lain dengan Bell yang berbau lily in the valley bercampur lemon bergamot yang mewah. "Siapa bedebah yang seenak jidat menanam benih di rahim elo," desisnya. Bell yang berdiri was- was disampingnya meremas bahu Dev. "Elo gimana sih? Rhea lagi menderita gitu malah nyolot . Jangan kayak abang- abang terminal dong!"

No RegretsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang