Sembilanbelas

797 108 2
                                    

Arkan sempat mematung sejenak sebelum buru- buru mematikan mesin mobil.

Pria itu segera merangkum kedua lengan kurus Rhea yang dibalut sweater baby blue. "Rhe tenang, Rhe. Ini gue Arkan. Bukan Aru!" Arkan mencoba menyadarkan Rhea. Juga mungkin dirinya sendiri.

Aroma tubuh Rhea yang samar seperti perpaduan buah jeruk dan rempah- rempah sempat membuat Arkan hampir terlena. Hampir. Belum lagi aroma rambutnya yang segar. Rambut keriting yang sehalus sutera, membingkai wajah cantiknya yang tirus.

Perlahan Rhea membuka matanya. Sepasang mata hitam yang lebar itu kini mendelik. "Arkan, kan?" Ia mengangguk. "Gue tahu lo Arkan, bukan Aru. "

Arkan bingung. Baru kali ini dia dibikin nggak berkutik oleh seorang gadis. Terlebih, gadis itu baru saja mengakui bahwa sebenarnya dia menyukai Aru-- yang nota bene adalah sahabatnya juga.

"Arkanantha Yudhistira, " bisik Rhea, tepat di lubang telinga pria itu. Menimbulkan sensasi yang menengangkan. Membuat debaran jantung Arkan semakin menggila dan darahnya berdesir. " Gue tahu. Elo yang waktu itu hajar Agress gara- gara dia mutusin gue demi jalan sama Mitha, kan?"

Rhea kini berusaha melepaskan cekalan tangan Arkan, kemudian menyentuh kedua pipi pria itu. Tangan Rhea begitu dingin. Matanya dalam menatap sepasang mata cokelat muda di hadapannya. "Kan, meskipun elo adalah pria yang dingin, tapi terimakasih karena sudah selalu ada buat nolongin gue," Rhea cegukan. "Maka dari itu..."

Rhea semakin mendekatkan wajahnya. Arkan membeku. Lumpuh total. Cacat, ketika bibir Rhea menuju ke bibirnya. Memagut bibir kemerahan milik Arkan.

Arkan bukanlah perokok. Ia dulunya merokok dan berhenti ketika kakeknya berkata bahwa ibunya ditemukan masih dalam keadaan hidup di pesawat yang berbeda dengan yang ditumpangi sang papa.

Awalnya, demi rasa persahabatan dan harga diri karena pengakuan Rhea bahwa sebenarnya perempuan itu menyayangi Aru, Arkan nggak ingin menanggapi ciuman itu. Rhea yang dia kenal juga bukanlah Rhea yang begini liar. Rhea yang dulu adalah sosok yang ceria sekaligus semberono. Tapi bukan gadis jalang yang bisa mencium sembarangan orang. Meski Arkan bukan orang asing.

Meski pun di sudut hatinya yang paling dalam, Arkan memang menyimpan perasaan untuk gadis itu, namun ia nggak mau mengambil kesempatan dalam kondisi Rhea yang seperti ini.

Rhea terus menciumnya, tangannya meraba dada Arkan yang dibalut kaus putih, karena pria itu sudah menanggalkan jaketnya dan melemparkan benda itu ke jok belakang mobil.

Sentuhan Rhea yang ragu- ragu, malah membuat Arkan terbakar dalam gairah yang coba dinyalakan oleh sahabatnya itu. "Sebaiknya besok pagi elo nggak menyesali ini, Rhe." Bisiknya dengan  pendirian yang mulai goyah.

" Kita akan terjun bareng- bareng." Beringas, akhirnya Arkan yang sudah nggak sanggup bertahan melawan akal sehatnya, mulai balas memagut bibir Rhea dengan lebih ganas.

***

Kepala Rhea serasa habis dihantam dengan Mjolnir milik Thor. Berat. Seperti ada batu sebesar gunung yang diletakkan di atas kepalanya. Gadis itu mencoba mengerjapkan matanya. Satu kali. Dua kali.

Ini memang di kamarnya. Namun rasanya ada yang aneh. Bukan hanya kepalanya yang sakit, melainkan bagian bawah tubuhnya. Ada rasa perih seperti mengganjal di area pangkal  pahanya.

Gadis itu mengerutkan alisnya. Mencoba memanggil ingatannya kembali, yang datang sepotong demi sepotong.

Ciuman di dalam mobil.

Mobil yang dikemudikan dengan sembrono.

Masuk ke kamar dengan terburu- buru.

Suara bantingan pintu.

No RegretsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang