Tujuh

744 110 1
                                    

"Mbak Rhea di mana?"

Terdengar suara Yani yang takut- takut dari seberang sana. Sekarang pukul tujuh malam, Rhea masih betah menyendiri di rumah tante Elora di kawasan Palmerah, mencoba mengetik satu dua lembar naskah novelnya . "Ada apa sih, Yan?"

"Ini ada Pak Bhisma. Nungguin Mbak,"

"Oh,"

"Mbak mau nerima?" suara Yani berubah menjadi bisikan. Rhea berani bertaruh, seluruh Winona pasti sudah malas berhadapan dengan Bhisma yang dulu pernah membuat Rhea lepas kendali di Winona.

"Bilang aja ketemuannya besok."

Rhea malas berurusan dengan orang lain saat ini. Dia ingin fokus menyelesaikan novelnya karena tenggat waktu sudah dekat.

Terlebih kalau  orang itu adalah Bhisma. Lelaki yang ia harapkan bisa membimbing dan melindunginya dari segala hal buruk.

Lelaki yang sama juga dengan seseorang yang memintanya mengalah pada Halimah agar ibu Bhisma itu bisa segera menurunkan restunya pada mereka, setelah tiga tahun menjalin hubungan.

Masalahnya Rhea sudah nggak berminat pada hubungan itu sendiri.

Pada Bhisma.

Semenjak dalam acara keluarga hampir dua bulan yang lalu, ketika secara nggak  sengaja ia mendengarkan obrolan  Halimah dan para sepupu perempuan Bhisma.

"Nggak anggun sama sekali Bude. Aku kira Mas Bhisma sukanya yang kaya Mbak Sukma."

"Ya gimana toh, Nduk. Bude maunya juga masmu itu sama Sukma. Jelas bibit, bebet, bobotnya. Nggak berantakan keluarganya. Sukma juga dokter anak sekarang,"

Selain itu Rhea juga benci sekali pada Berli. Dokter Berlian Iswandari. Cara adik Bhisma itu dalam menatapnya, seperti caranya memicing pada bakteri, fungus, atau cicada yang merupakan spesies tingkat rendah.

"Yan,  tolong bilang pada Pak Bhisma, saya lagi sibuk dan nggak bisa diganggu. Saya nggak pulang malam ini."

Rhea mengakhiri panggilan tersebut. Kemudian bangkit dari sofa di depan televisi, hendak mengambil air dari kulkas, karena dispenser airnya kosong.

Rumah itu sudah dua tahun tak ditempati. Namun dua hari sekali masih ada orang yang datang untuk membersihkan.

Sebenarnya tante meminta Rhea untuk menempati rumah tersebut. "Daripada bayar orang buat bersih- bersih, mendingan kamu yang nempatin, Rhe."

Tante menolak menyewakan karena rumah itu adalah suaka bagi ribuan buku- buku milik tante Elora. Beliau yakin, jika Rhea atau Regan yang menempati, keduanya pasti bisa merawat buku- buku tersebut.

Saat kembali ke sofa, ada notifikasi pesan masuk di ponselnya. Dari Arkan.

***

"Lo ikut mobil gue apa sama sopirnya si Bell?"

Hari itu adalah pertandingan basket antar sekolah. Sekolah Rhea akan bertandang ke sekolah lawan. Tidak ada pelajaran hari itu, semua murid disarankan untuk mendukung tim basket SMA Karya Nusantara, tim sekolah Rhea di kandang SMA Permata Bangsa.

Hari itu sopir Bell menunggu di luar sekolah. "Ikut Bell deh, Ar."

Berangkatlah Rhea, Dev, dan Bell ke SMA lawan. Pertandingan itu berjalan sengit. Kekuatan SMA Karya Nusantara seimbang dengan SMA Permata Bangsa. Namun dukungan untuk SMA Karya Nusantara mengalir deras karena keberadaan Ren, Orion, dan Aru. Bahkan beberapa cewek dari tim sekolah lawan, berbalik mendukung Ren yang cool, membuat Bell manyun sepanjang pertandingan.

No RegretsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang