Hari Sabtu pagi, Arkan mengajak Rhea ke Bandung untuk bertemu dengan kakeknya. Wanita itu sempat menolak, namun Arkan berhasil meyakinkannya, bahwa semakin cepat mereka bertemu dengan sang kakek, semakin baik.
"Kita mau nikah kan, Rhe..."
"Tapi aku belum siap, Ar. Kalau kakekmu nggak suka aku, gimana?"
"Dia pasti suka, kakek orangnya memang sulit. Tapi bukan hal mustahil bikin dia suka sama kamu."
Rhea menatap Arkan ragu, membuat lelaki yang belakangan harus bolak- balik dari apartemennya di Pakubhuwono ke Winona yang berada di Tebet-- lantaran Regan mati- matian melarang kakak perempuannya tinggal serumah dengan Arkan-- itu balik menatapnya penuh sayang.
"Pria tua itu beberapa bulan ini ngejar- ngejar kakak sepupuku supaya cepat nambah cucu." Terang Arkan.
"Oh, ya?"
"Heem," Arkan mendesah. "Terus dia bilang ke kakek, bahwa tugas itu seharusnya udah pindah ke aku. Bahkan Amara membocorkan tentang kehamilan kamu ini," tangan Arkan refleks terulur untuk mengelus perut kekasihnya yang semakin membuncit.
"Kamu nggak cukup makan kayaknya, Rhe...." Raut wajah Arkan berubah khawatir. "Semual itu kalo dipaksa makan?"
"Kadang iya, Ar.... tapi belakangan agak lebih lumayan. Menjelang persalinan nanti, padahal aku harus punya banyak tenaga. "
"Kalo gitu, mulai sekarang, kamu jangan ogah- ogahan makan ya, Rhe. Demi anak kita. Eh, kapan jadwal periksanya lagi? Entar aku yang anterin ya?"
Hati Rhea tiba- tiba menghangat. Arkan benar- benar antusias dengan kehadiran bayi yang kini masih menghuni rahim Rhea.
Ia pikir, segalanya akan menjadi aneh. Hamil anak teman sendiri bukan sesuatu yang pernah dibayangkan oleh Rhea. Terlebih, Arkan adalah sahabat Aru, yang nota bene adalah mantan orang paling spesial bagi wanita itu.
Hanya saja, hubungannya dengan Aru memang terkesan rumit. Mereka tak pernah sepakat untuk menjalin hubungan. Bahkan mungkin Aru menganggap Rhea seperti Raina, adik dari lelaki itu sendiri.
Mungkin sejak dulu, Rhea memang sudah mengenal Arkan. Lelaki yang sebenarnya selalu ada untuk wanita itu.
Lelaki yang pada akhirnya akan menjadi ayah bagi anaknya. Bila ini semua lancar, Rhea tak punya alasan untuk menolak Arkan.
***
Dua jam berkendara, mereka sampai di rumah kakek Arkan yang berada di Dago. Rumah itu memang bukan rumah yang bergaya modern. Cenderung lawas, namun masih kokoh. Rumah bercat putih dan krem itu adalah tipikal rumah yang diwariskan secara turun temurun. Bergaya kolonial dan hanya berlantai satu. Halamannya luas dan ditumbuhi aneka macam pepohonan.
Seolah- olah mempunyai hutan kecil pribadi. Sejuk dan teduh. Di garasi terparkir Daimler dan Rolls Royce yang seolah- olah baru keluar dari istana Buckingham. Keduanya terlihat amat terawat. Lalu ada Jaguar perak, dan Chevrolet Trailblazer. Sepertinya selera kakek Arkan lumayan unik.
Seorang asisten rumah tangga yang kemungkinan berusia awal lima puluh dalam balutan kebaya kutu baru dan kain jarit warna hitam dengan rambut digulung rapi di tengkuk, menyambut keduanya dengan senyum yang amat sangat ramah. "Mas Arkan, Mbak. Pak Roesli menunggu di taman belakang. "
Arkan mengangguk pada Bu Uti. Perempuan tua yang sudah bekerja puluhan tahun untuk keluarga kakeknya.
Memasuki ruang tamu yang terasa bagaikan museum, Rhea nggak bisa untuk nggak berdecak kagum.
Dinding- dinding yang dicat dengan warna krem yang hangat itu dipenuhi oleh kain- kain tradisional yang berasal dari beberapa daerah di Indonesia. Ada batik Megamendung dari Cirebon yang kemungkinan dibuat di Trusmi. Ada batik pekalongan, Jogja, Solo yang memang memiliki karakter berbeda- beda.
Ada pula kain ulos dari Batak, kain songket yang menggunakan benang emas, kain tenun yang berasal dari Sumbawa, serta masih banyak lagi. "Nenek dulu suka koleksi kain." Beritahu Arkan yang melangkah di samping Rhea sembari menggandeng tangan wanita itu.
Pandangan Rhea kemudian berpindah pada dinding yang dipenuhi oleh foto- foto yang telah menguning. Beberapa di antaranya adalah foto pernikahan. Ada gambar seorang pria gagah nan jangkung dalam balutan jas lengkap warna putih dengan seorang perempuan Belanda cantik dalam gaun putih berenda. "Nenek kamu orang Belanda?"
"Ya. Dia punya perkebunan teh di Pengalengan sana. "
Lalu ada benda- benda lainnya seperti keris, tombak, dan lukisan- lukisan.
"Ruang tamunya kayak museum ya?"
"Ini baru dipajang setelah nenek meninggal. Dulunya, dinding ini penuh sama hasil buruan kakek. Ada kulit macan, kepala rusa, gading gajah segala macam pokoknya. Semua itu bikin nenek keki. Dia cuma sempat memajang foto Ratu saat itu.
"Ratu Belanda?"
Arkan mengangguk.
"Sama foto anak- anaknya. Nenek orang rumahan banget. Suka bikin kue yang enak- enak. Dapur di rumah ini nggak pernah absen dari bau butter sama segala macem bahan buat bikin kue. Yang paling enak itu ya kaastengel, lidah kucing, spiku, aku suka banget. Eh, kamu capek nggak? Mau minum?"
"Nggak usah." Rhea menggeleng. "Kita ketemu kakek dulu."
Arkan tersenyum. Kemudian meraih sejumput rambut Rhea dan menyelipkannya di belakang telinga wanita itu. Lalu ia mendekat untuk mencium pelipis wanita itu. Membuat wajah wanitanya itu bersemu merah."Seharusnya aku ngelakuin ini dari dulu. Sekarang ini aku ngerasa bahwa segalanya berjalan benar."
Rhea mengernyit. "Aku baru sadar. Aku bener- bener sayang sama kamu, Rhea Shakuntala. Aku rasa juga aku nggak bisa bayangin kalo kamu nggak ada. Tapi faktanya kamu selalu ada dalam setiap fase dan siklus kehidupanku." Arkan meremas tangan wanita itu. "Jadi temenku. Jadi ibu dari anak aku.... "Tangannya yang bebas meluncur ke perut Rhea yang membuncit.
Kata- kata lelaki itu membuat Rhea mau nggak mau jadi terharu. Arkan telah banyak berubah. Dulu ia mengenal lelaki ini sebagai sosok yang dingin dan penuh misteri. Sekarang tampaknya Arkan telah banyak berubah.
"Kamu banyak berubah ya, Ar? Jadi lebih hangat sekarang. Nggak kayak dulu yang dingin dan cuek banget gitu. "
"Aku bisa lebih hangat dari ini, kalo kamu mau, Rhea." Arkan mengangkat buku- buku jari Rhea, kemudian mengecupinya dengan penuh perasaan. Membuat perasaan wanita itu seketika menghangat. Sebelum meleleh. "Setelah dapat restu dari kakek, kamu harus tinggal bareng aku ya. Aku nggak sanggup kalo harus jauh- jauhan sama kamu lagi. " Arkan menatap sayu pada Rhea, hingga terdengar gelegar deheman.
Seorang pria berusia akhir tujuh puluh berdiri di ambang pintu yang menghubungkan area makan dengan taman belakang. "Saya sudah nunggu sejak tadi. Malah pacaran sendiri di sini!" hardik pria yang memakai kemeja berlengan pendek yang dipadukan dengan celana chino. Rambutnya telah sepenuhnya memutih dan mulai jarang- jarang. Wajahnya tampak tegas dengan mata yang dibingkai kacamata silinder. Ia bertumpu pada tongkat berwarna cokelat. "Nurma sama Isti masak bistik. Kalian mau makan kapan?"
"Habis ini. Kakek juga makan, kan?" tanya Arkan.
"Hmmmmh," pria tua itu mengangguk. Lalu melayangkan tatapan ke arah Rhea. Berhenti agak lama untuk mengamati wanita itu. Membuat Rhea gugup setengah mati.
Roesli hanya mengangguk. Seolah- olah menyetujui apa yang ada di hadapannya. "Ayo pergi ke teras belakang. Makanannya disajikan di sana. Jangan terlambat ngasih cucu saya makan. Nanti dia lapar. " Ujar pria itu. Kemudian berbalik kembali ke luar dan menuju meja makan lonjong yang terbuat dari satu kayu nyatoh utuh dengan kaki tunggalnya yang seperti akar pohon raksasa.
"Yuk, " ajak Arkan. "Aku nggak mau anak aku kelaparan. Nanti dia ngamuk ke mamanya. Kan aku yang repot, Rhe."
* Tamat*
KAMU SEDANG MEMBACA
No Regrets
ChickLitAwalnya, persahabatan itu berjalan baik antara Rhea Shakuntala dan Erwin Andaru meskipun nyatanya Rhea menyimpan perasaan khusus pada pria itu. Namun, sejak Daru pulang dari Aussie, segalanya sudah terasa berbeda. Sehingga Rhea harus mencari apa ya...