Enam

794 112 2
                                    

Reina sudah duduk manis di lantai dua Winona. Pagi itu waktu masih menunjukkan pukul sembilan. Reina sudah serapi dan se- chic biasanya. Terkadang Rhea ingin mengusulkan agar Reina menjadi penata gaya atau membuka butik saja, daripada repot- repot mondar- mandir di perusahaan kakeknya sebagai corporate lawyer. 

Rhea hanya mengenakan celana piama buluk warna abu- abu dan kaus warna putih bergambar Doraemon dan dorayaki kesayangan karakter kucing biru itu. "Pagi banget, Rei. Nggak ngantor emang?"

"Ngantor. Sebentar lagi," Reina menghirup kopi hitam yang baru dihidangkan oleh Nana. Rhea tersenyum memperhatikan gerak-gerik adik Aru itu.

"Mbaaak..."

"Hmmm..."

"Menurut Mbak... Engghhh...Mas Arkan itu gimana ya?"

Rhea seketika membulatkan mata. Kedua  alisnya terangkat. "Arkan?"

Reina malu- malu, menundukkan kepala, pipinya yang putih bersih memerah.

Pagi itu bahkan gadis yang masih berusia 24 tahun itu tampak lebih rapi daripada pembawa acara berita di televisi.

Rok pensil selutut berwarna broken white, atasan blus berwarna cokelat moka, dan blazer dengan lengan sesiku yang senada dengan roknya. Sepatu dan blusnya berwarna senada. Rambut sepunggungnya digerai, menenteng handbag dari Celine.

Secara keseluruhan, Reina memang cocok dengan Arkan. Cantik dan tampan. Arkan juga  tipe pria yang selalu memperhatikan penampilan. Mungkin terkadang yang dikenakannya hanyalah kemeja dan jin, namun hal itu membuatnya seperti keluar dari majalah pria dewasa.

"Yah, dia oke. " Rhea menaikkan alis.

Kini alis Reina bersatu di tengah dahi. "Oke dalam hal?"

Sepiring risol dan kroket datang bersama seteko teh oolong gula batu diantar oleh Nana. "Kroketnya masih hangat, Mbak," kata Nana. Gadis itu membungkuk, lantas turun lagi.

"Ya oke..." Rhea mencomot sebiji risol berisi sayuran,"Bertanggung jawab orangnya. Entahlah," gadis itu memulai satu gigitan, mengunyah dengan perlahan. Risol ini adalah berkah. "Gue juga nggak terlalu paham. Soalnya kan kami sempat nggak ketemu beberapa tahun,"

"Ya soalnya setahuku tuh Mas Arkan hobi ganti- ganti cewek melulu. Tiga bulan lalu aku nggak sengaja ketemu dia di warung bakso yang kapan hari aku ketemu Mbak sama Mbak Dev itu. Dia sama cewek kayak masih anak kuliahan gitu,"   Wajahnya semakin cemberut .

Rhea tahu, jadi, pertemuan mereka tempo hari itu dimaksudkan untuk Reina coba-coba siapa tahu bisa ketemu Arkan di tempat itu.

"Terus Minggu lalu aku ketemu dia lagi sama perempuan kayaknya penyiar berita atau siapa gitu, di Lucy in The Sky. Barang jem sembilanan gitu. Aku waktu itu ada acara sama Nia,"

Rhea mengangguk. Kali ini dia menuang teh ke cangkir, menghirupnya, lantas menyeruput sedikit. "Yah, Arkan itu agak susah- susah gampang. Gue juga nggak segitu akrab sama dia setelah pisah lama. Yang dekat kan kakak lo. "

"Tapi waktu itu pas ketemu di mal kalian kaya akrab banget. Kalo dilihat kayak pasangan yang udah jalan bareng lima tahun gitu,"

"Cuma kebetulan," Rhea tertawa. Arkan adalah hal terakhir yang dia pikirkan. "Kami ketemu pas gue makan soto. Itu aja."

"Kebetulan yang menyenangkan, dong, ya? " Reina menatap Rhea dengan iri.

"Enak ya kerja di tempat kakek sendiri? Bisa bebas masuk jam berapa aja." Canda Rhea.

Reina merengutkan bibirnya. "Bebas gimana? Beberapa minggu ini aku lembur karena ada kasus yang melibatkan Cellar Indo Pharmacy" gadis itu menunduk, lalu menggeleng, memainkan jari- jarinya. "Yang bebas kan Mbak Rhea. Mau kerja boleh, nggak kerja juga nggak bakalan didamprat sama atasan. Nah aku? Meski itu perusahaan milik kakek, tapi statusku nggak kasih keistimewaan. "

No RegretsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang