Pagi- pagi sekali keesokan harinya, Arkan kembali muncul di Winona. Membawa banyak sekali barang- barang yang mungkin dibutuhkan oleh Rhea.
Selain itu, ia juga membawakan perempuan itu sarapan. Dia nggak begitu hafal makanan favorit Rhea, karena setahunya, perempuan itu pemakan segala.
Jadi pagi itu ia kalap membeli bubur ayam Cirebon, komplit dengan sate- sateannya, lontong sayur Padang, nasi uduk, nasi kuning, hingga jajan pasar seperti lemper, arem- arem dan banyak lagi.
Ninis kebingungan ketika Arkan muncul dengan banyak sekali barang- bawaan. Satu keresek besar warna putih berlogo salah satu supermarket di BSD, aneka macam sarapan, hingga entah apa lagi. "Ini apaan, Mas?" tanya perempuan itu heran.
"Ya udah bawa masuk dulu. Rhea udah bangun?"
"Udah. Tuh, lagi berjemur."
Arkan langsung masuk ke area halaman tengah, di sana, di tengah- tengah taman yang mungil, Rhea sedang duduk, berjemur di atas kursi, dengan dua telinga tersumbat earphone. Matanya terpejam. Begitu melihatnya lagi hari ini, Arkan tahu alasan dirinya memilih perempuan itu.
Rhea nggak hanya cantik. Tapi ketenangannya saat itu, membuatnya menyerupai seorang dewi. Dan mungkin saja, Arkan nggak akan pernah bosan menjalani kehidupan selanjutnya bersama wanita itu.
Arkan melangkah perlahan, berdiri di belakang kursi Rhea, membungkuk sejenak, mencium kepalanya, kemudian mengusap lembut pundaknya, kemudian memijatnya lembut. Membuat wanita itu membuka mata. "Kamu ngapain?"
"Say hello sama kamu aja." Ujarnya, seolah- olah hal itu sudah dilakukannya sejak lama. Merasa seharusnya Rhea nggak perlu heran.
Pria itu kemudian memutari kursi dan berjongkok di depan Rhea. Mata Rhea mengikuti gerakannya. "Boleh?" tanya Arkan, ketika tangannya sudah berada dekat sekali dengan perut gadis itu. "Mau apa?"
"Mau say hello sama anakku."
Rhea mematung. Nggak tahu mesti berkata apa. Sejauh ini, dia nggak pernah seintim ini dengan Arkan dalam keadaan sadar. Dulu, sewaktu tidur bersama, Rhea sedang mabuk berat. Jadi wajar kalau pagi ini dia merasa begitu canggung.
"Nggak boleh?" roman muka Arkan seolah kecewa.
"Aku nggak terbiasa sama ini, Ar." Jawab Rhea ragu. "Kita nggak pernah sedekat ini sebelumnya. Rasanya aneh nggak, sih?"
"Enggak. Kamu cuma perlu membiasakannya." Arkan berkeras.
Kemudian hening.
"Boleh aku tanya sesuatu ke kamu?"
"Apa?"
"Apa... Apa... apa waktu itu kamu menyesalinya?"
"Maksudmu? Kejadian di Braga itu? Kita tidur bersama?" Arkan menatap mata wanita yang tiba- tiba begitu dicintainya itu. "Apa kamu menyesal?" pria itu balik bertanya.
Kalau pun jawaban yang ia dapatkan dari Rhea nggak sesuai harapannya, well, maka wanita itu nggak punya pilihan. Arkan akan menjadi satu- satunya pilihan. Dia akan sangat bekerja keras untuk memastikan hal itu.
Rhea menggeleng malu- malu. Membuat Arkan sedikit terpana. "Tapi rasanya aneh nggak sih, Ar? Aku kok rasanya geli gitu ya?"
Setelah melihat Rhea jadi sedikit rileks, Arkan kemudian memberanikan diri untuk mendekatkan tangannya ke perut Rhea. "Apa rasanya sakit?" bisik pria itu, ketika kepalanya rebah di pangkuan Rhea. Gadis itu sampai merinding mendengar suaranya.
Arkan kemudian bangkit, menarik tubuh Rhea yang ringan bersamanya, lalu kemudian membawa wanita itu duduk di pangkuannya. Membuat Rhea merasa canggung. Ia bergerak rikuh di pangkuan pria itu. "Ar, nanti ada yang lihat."
"Aku nggak peduli," suara pria itu teredam punggung Rhea, karena dia sedang menciumi area tersebut. Dengan perlahan dan penuh kerinduan. "Mereka harus tahu, kalau sekarang sudah ada aku."
"Maksud kamu apa? Sejak kapan kamu jadi begini sih?"
"Begini bagaimana?" tangan Arkan mulai merambah bagian samping payudara Rhea yang membulat. Membuatnya sedikit kehilangan fokus. "Kamu ngapain sih, Ar?" Rhea menggeliat, berusaha melepaskan diri dari godaan tangan pria itu. "Nggak kenapa- napa sih. Kamu lanjutin aja denger lagunya."
"Tapi kamu bikin aku susah konsentrasi," Rhea mulai kesal. "Aku tahu sejak dulu kamu memang nyebelin. Tapi..."
"Rupanya ini yang kalian lakukan di belakang gue selama ini!" bagaikan kilat yang mendadak menyambar, tanpa peringatan, muncul Aru dengan ekspresi wajah yang kaku.
Matanya nyalang mengawasi Arkan dan Rhea yang sedang bermesraan di taman itu, sementara Rhea berusaha keras untuk bangkit, Arkan menahannya. Dia nggak repot- repot melepaskan wanita itu dari pangkuannya.
Malah dia senang, karena tanpa harus berkata panjang lebar, Aru pasti paham, bahwa yang sedang dilihatnya saat ini sudah menjelaskan segalanya.
"Brengsek!" geram pria itu. Lalu tatapan kecewanya menyapu sosok Rhea yang tetap meringkuk di pelukan Arkan. " Kalian benar- benar..."
Wajah Aru berubah merah karena emosi. "Kalian berdua memang kompak! Berani- beraninya nipu gue di belakang," mata pria itu kemudian menghujam ke arah Arkan. "Terlebih elo, Ar. Gue pikir lo bakalan jagain Rhea. Rupanya lo makan juga dia!"
"Lo yang ninggalin dia sendirian. Bukannya seharusnya lo sedang mempersiapkan pernikahan dengan salah satu dari putri Sundoro itu? Nggak seharusnya lo mikirin wanita lain yang sebentar lagi jadi istri gue," terang Arkan. Sikapnya santai, tapi tatapan dan auranya tetap mengintimidasi.
Mencoba memberi tahu pada lawan bicaranya siapa yang berkuasa atas wanita dalam pelukannya saat itu. Sementara Aru tetap nggak mempercayai apa yang didengarnya. Matanya menyipit ke arah Rhea.
"Elo Rhe, gue pikir lo lebih pintar dari ini..."
"Ini hidup gue kalau lo mau tahu, Ru. Ini pilihan gue. Dan gue nggak menyesal karenanya... " Kata- kata Rhea seolah mengambang, tangannya meraba dan mengelus perutnya. "Seharusnya ini semua sudah jelas." Kata wanita itu pada akhirnya.
"Gue sudah menunggu." Rhea memulai. Ia bertekad untuk jujur pada Aru tentang perasaannya. Sehingga segala sesuatunya yang mengganjal di antara mereka akan cepat selesai. Nggak berlarut- larut. "Gue nunggu lo bertahun- tahun, tapi lo nggak pernah peka sama apa yang gue rasain ke lo, Ru. Gue... gue suka sama lo. Sayang bahkan. Perasaan itu tumbuh sejak kita masih sama- sama hahahihi pakai seragam putih- abu- abu. " Senyum kecil tersungging di wajah cantik yang kini tampak begitu tirus itu.
Aru baru menyadari, berapa kurusnya tubuh Rhea saat ini. Sejak dulu, wanita itu memang nggak pernah gemuk. Posture tubuhnya cenderung mungil, gayanya yang setengah cuek dan setengah feminin. Rhea juga sahabat yang baik, serta punya tempat istimewa di hati Aru sejak dulu. Namun, karena takut merusak persahabatan di antara mereka, takut Rhea bakal pergi suatu hari nanti, maka dari itu, Aru tetap menyimpan perasaannya pada Rhea.
Dia lebih memilih memacari Jenna, supaya perhatiannya pada Rhea berkurang. Sebenarnya, rasa sayang itu juga membuat Aru menderita. Setiap saat mereka dekat, namun Aru tetap harus menjaga jarak.
Nyatanya, jarak yang ia ciptakan dengan nggak sengaja kini mengundang orang lain masuk di sela-sela mereka. Arkan yang ia anggap sebagai sahabat baiknya sejak dulu, kini menjadi penyebab Rhea nggak akan mungkin dijangkau lagi oleh Aru.
Arkan akhirnya bangkit. Ia mendorong Rhea agar sedikit menyingkir, setelah mengecup ringan pelipisnya. Aru hampir muntah melihat gestur kedua orang itu.
Tanpa banyak kata, Aru merangsek ke arah Arkan, lalu satu bogem mentah mendarat di rahang pria itu. "Ini karena lo sudah jadi pagar makan tanaman!"
Arkan pun balik mendaratkan jab kiri, "Ini karena lo mengabaikan Rhea dan malah milih menikahi perempuan itu!" Arkan membalas. "Tapi terima kasih," ia tersenyum miring. "Berkat ketololan elo, gue bisa mendapatkan sesuatu yang sejak dulu gue inginkan!" Arkan mendaratkan tinju lagi. Kali ini di dagu Aru.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
No Regrets
ChickLitAwalnya, persahabatan itu berjalan baik antara Rhea Shakuntala dan Erwin Andaru meskipun nyatanya Rhea menyimpan perasaan khusus pada pria itu. Namun, sejak Daru pulang dari Aussie, segalanya sudah terasa berbeda. Sehingga Rhea harus mencari apa ya...