Sebelas

672 100 4
                                    

Rhea mendapati bahwa tidak semua penghuni panti rehabilitasi jiwa "Melati Suci" itu mengidap gangguan mental.

Beberapa diantaranya hanyalah orang yang ingin menyingkir dari hiruk- pikuk kehidupan sehari- hari. Yang lainnya menderita sindrom pasca melahirkan. Lalu ada lagi yang trauma karena kehilangan, pelecehan, maupun korban human trafficking. Jika ada yang sudah dalam tahap mempunyai gangguan jiwa akut, pihak Melati Suci akan merujuknya ke rumah sakit Jiwa  "Melati Suci" . Mereka berada dalam satu yayasan yang sama.

Hari berikutnya, Rhea hanya mengamati mereka dari kejauhan. Menonton suster berinteraksi dengan para penderita gangguan psikis, dan ia sendiri mempunyai kesempatan untuk mengobrol dan berinteraksi dengan mereka.

"Kamu tahu nggak? Seharusnya bumi ini sudah kiamat sejak lama. Kita di sini sedang dihukum karena mencuri uang rakyat?" seorang pria berkepala plontos mengajaknya bicara. Rhea diam mendengarkan. "Menurutku kita harus membuang orang- orang tak berguna itu ke planet lain!"

"Peradaban kita mengalami kemunduran!"

"Pak Roso," panggil seorang suster, "waktunya makan puding," sang suster dengan tenang merangkul pria bermata cerdas tersebut. "Hari ini aku mau puding kacang hijau buatan Lena."

"Tadi yang buat memang Lena, kok."

"Masa?" pria itu menatap suster dengan sangsi. "Kalau rasanya asin, berarti itu memang buatan Lena." Katanya mantap, kemudian menoleh ke arah Rhea. "Kamu harus coba puding kacang hijau buatan Lena," telunjuknya mengarah ke wajah Rhea. Si suster tersenyum memohon pemakluman.

"Waktu itu Lena marah karena aku nggak habiskan pudingnya," Pak Roso merenung.

Si suster menggeleng.

***

Pulang dari panti rehabilitasi, Rhea membeli makanan untuk di makan di rumah. Dia mampir ke kafe untuk membeli iced caffee latte. Rupanya kafe itu juga menyediakan keik. Rhea membeli keik wortel dan keik keju. Saat keluar dari kafe tersebut Rhea berdiri di trotoar agak lama. Di sebelah kafe ada toko bunga. Ia melihat mawar geranium berwarna pink, lalu mendekat. Tersenyum.

Mungkin besok jika ia datang ke Melati Suci lagi, dia akan memberikan hadiah kecil untuk Ibu Maira.

***

Akhirnya Rhea berlaku seperti turis yang sedang lapar mata. Dari membeli kopi dan keik, gadis itu mampir beli batagor, seblak, dan nasi liwet. Sisa hari itu ia habiskan di dalam kamarnya. Menonton One Piece dari tabletnya. Dia masih belum mengaktifkan ponsel, dan yakin sekali  Dev akan mencacinya dengan seluruh kosa kata terburuk di seluruh dunia dari berbagai belahan bumi. Damn, Shit, bloody hell, wanker, merde.

***

"Temenin ya, Mas?" Reina merayu kakaknya. Gadis itu menggelendot manja di lengan Aru yang sedang sibuk membaca berkas dari kakeknya. "Sama Nia juga perginya?"

"Emang kenapa kalau sama Nia? Dia kan bakal jadi istrinya Mas Aru," Reina berpikir sejenak. Menghadapkan wajahnya ke atas. Menerawang. "Jangan bilang..." kata- katanya terputus, tatapannyapun kembali tertaut pada sepasang mata hitam kakaknya. "Mas,"

"Ya,"

"Mas suka sama Mbak Rhea?"

Aru tidak menjawab, terus membolak- balikkan berkas- berkasnya. "Kamu ngomong apa? Mas cuma temenan sama Rhea. Lagian kamu denger sendiri kemarin pas kita makan. Dia masih jalan sama Bhisma. Hubungan mereka awet berarti. Bhisma kelihatan baik, dia pasti bisa jaga Rhea," Aru berhenti sejenak, mengangkat bahu. Wajahnya masih kelihatan tenang. Namun sebenarnya tidak.

No RegretsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang