Duapuluh Dua

776 114 2
                                    


Pagi hari, matahari bersinar cerah.

Duduk di muka paviliunnya, Rhea. Bengong di atas kursi roda sembari berjemur di bawah sinar matahari pagi yang menyehatkan.

Dia terpaksa memakai kursi roda itu setelah  dengan tegas dipaksa adiknya dan diancam oleh perawat di rumah sakit. Rhea dilarang banyak bergerak selama satu bulan. Kalau dia bandel, Regan mau pun Ninis nggak akan segan- segan untuk menjebloskannya ke rumah sakit lagi.

Eva terkadang datang bersama Pak Ferry, atau dengan Thalia. Hingga saat ini, keberadaan  Mona belum juga ditemukan.

Padahal Pak Ferry sudah mengerahkan beberapa anak buahnya untuk mencari putri kandungnya  yang kemungkinan masih berada di Jakarta. Paling jauh ke Bandung.

Sementara Ayah Adjie dan Ibu Ira masih berada di Jakarta, mereka datang hampir setiap hari.

Ibu Ira sering membawakan makanan favorit Rhea. Puding kacang hijau, soto betawi, rendang, ayam bakar taliwang, sambal goreng kentang ati ampela, dan mie goreng, baso mercon. Dulu semua itu adalah makanan favoritnya, tapi belakangan saat mencium bau semua masakan itu, Rhea mual setengah mati.

Dan berbalik menyukai makanan yang dulu amat dibencinya setengah mati; durian, nasi goreng kambing, dan lasagna.

"Itu makanan favorit siapa sih?" Regan iseng bertanya, ketika memberikan pesanan Rhea, pancake durian plus es krim durian. "Dulu Mbak Rhea bahkan sampai nggak mau masuk rumah kalau ayah bawa pulang durian kan?" Rhea tersenyum miring. Memang betul. Dia benci durian. Aru, Arkan, Dev, penggemar berat durian. Tapi yang jelas ini bukan anak Aru atau Dev.

Regan masih penasaran, bedebah mana yang berani menggauli kakaknya lalu meninggalkannya dalam penderitaan yang seperti ini!

Tubuh Rhea masih kurus, dia masih sering memuntahkan makanannya, kalau malam susah tidur, gampang gerah, punggungnya sakit, Ninis sekarang ikut tidur di paviliun Rhea sementara Regan tidur di ruang kerja Rhea. Karena badannya kacau, Rhea jarang menulis, jarang membaca, jarang nonton. Dia cuma duduk bengong di taman depan paviliun. Atau mengawasi koi yang berenang lincah di kolam kecil di taman itu.

Sekarang ini bau risol dan bombolooni dan kroket dan roti isi kerap  membuat perutnya berontak  mual.

"Biasanya Mbak jalan- jalan ke mana sih?" tanya Regan.

Sore itu Rhea masih betah duduk di bawah pohon jambu biji di dekat pagar tembok setinggi tiga meter yang mengelilingi paviliun. Di sekitar situ juga ada bunga sepatu favorit kakak perempuannya, dan pekerjaan Rhea saat ini hanya mengamati ikan- ikan di kolam dan bunga sepatu berwarna merah muda..

"Males ah," jawab Rhea ketus. Sore itu dia masih mengenakan daster warna cokelat yang dibawakan Ibu Ira. Sejak pagi dia  masih menolak mengganti  daster itu. Itu berarti dia belum mandi.

Sejak keluar dari rumah sakit , Rhea mempunyai tabiat baru. Jarang mau mandi.

Meskipun Ninis menekankan bahwa kesehatan ibu itu penting, dan mandi menghindarkan Rhea dari kuman penyebab penyakit, namun gadis itu masih kekeuh menolak bersentuhan dengan air.

Rhea lebih memilih sering  mengurung diri di paviliun, ketimbang mandi. "Mbak Rhea sekarang jarang mandi, nih?" Regan sengaja menutup hidungnya, bermaksud  menggoda si kakak. Tapi alih- alih tersinggung, Rhea hanya melirik sekilas pada cowok itu, sebelum kembali menambatkan pandang pada ikan koi.

"Kalau nggak suka, lo boleh pergi," gampang tersinggung, batin Regan lelah.

"Tapi musim kayak gini tuh seharusnya Mbak menjaga tubuh. Sekarang bukan soal Mbak sendiri. Ada si dedek di dalam,"

No RegretsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang