"Lo gila ya?" mata Bell melotot tajam.
Dev masih tetap punya keinginan untuk melabrak Aru di depan umum tadi.Dengan kasar ia menghempaskan cekalan tangan Bell. Mendengus bagaikan kuda. Matanya dipenuhi oleh bara kemarahan yang sudah lama terakumulasi.
"Elo kenapa sok- sokan nahan gue tadi?" tantang Dev nggak terima. "Harusnya orang itu gue bejeg- bejeg sampai jadi kayak lotek!" Dev meremas kedua tangannya dengan gemas.
Bell kemudian menggiringnya ke Starbucks. "Dahlah, kita ngadem dulu. Tenangin emosi lo. Jangan sampe ngasih tontonan gratis apalagi di butik sekelas Zegna. Bisa diciduk satpam deh lo."
Dev tetap memasang wajah cemberutnya, meskipun ia mengekori Bell masuk ke Starbucks, memesan iced Americano dan berusaha untuk chill, tapi kemarahannya nggak mereda dengan cepat. "Lo yakin bukan dia yang ngehamilin Rhea?"
"Pssst!" Bell mendelik, menoleh kiri- kanan, meletakkan telunjuknya di mulut. "Ngomong jangan ngasal." Tegur Bell.
"Inget ya, Dev. Nggak ada yang boleh tahu kondisi Rhea. Liat sendiri kan kondisinya dia kayak apa? Mendingan kita nggak usah lagi deh nanya- nanyain siapa bapak tuh janin. Cukup temani dia aja. Itu bagus buat psikologisnya. Jangan sampai stres deh pokoknya. Awal kehamilan aja udah berat banget begitu kan? Dia masih harus melalui bulan- bulan berikutnya. " Bell terdengar prihatin. Mereka duduk di sofa. Bell menambah sepiring croissant dia sendiri memesan vanilla latte.
Giliran Dev yang terang- terangan melihat perut Bell yang masih serata ketika SMA dulu. "Lo sendiri udah nikah enam bulan tetep nggak ada perubahan ya?" cibirnya.
"Ren belum kepingin nih. Padahal nyokap gue sama nyokap Ren udah nanyain melulu. Gue sebel." Bell manyun.
"Masih kepingin bulan madu kali," Dev menyangga dagu malas- malasan. Dua hari dia bakal free di Jakarta, sebelum berburu foto untuk pameran bulan depan di Hong Kong.
Rencananya dia akan mengambil gambar di Taman Nasional Baluran. Di sana dijuluki dengan Madagaskarnya Indonesia, lalu mungkin akan lanjut ke Bali atau Banyuwangi.
***
Maka dari itu, keesokan harinya Dev sudah berada di Winona tepat pukul sembilan pagi. Rhea masih mengenakan daster, meskipun belum ada perubahan bentuk badannya, tapi rona sudah kembali di wajahnya.
Ninis melapor bahwa Rhea hanya suka berjemur di halaman paviliun, dan tetap menolak untuk mandi. Bahkan memaksa anak lima tahun untuk mandi jauh lebih mudah, ketimbang membujuk Rhea yang sudah hampir kepala tiga.
Alhasil, terkadang Ninis meminta Rhea untuk mandi dengan waslap atau tisu basah.
"Lo kayak ibu- ibu tua di panti jompo deh, pagi- pagi begini sudah berjemur. Udah sarapan?" Dev nyelonong masuk ke area paviliun dengan baju kebesarannya. Kaus putih dan celana jins. Ransel mungil menggantung di pundaknya, sneakers hitam, dan rambut ekor kudanya adalah sesuatu yang memang khas Dev.
Gadis itu nggak pernah menyemprotkan parfum seperti kebanyakan perempuan, tubuhnya berbau lemon dari sabun mandi yang digunakannya, rambutnya berbau shampoo dengan aroma yang menguarkan kesegaran, dan bajunya berbau deterjen. "Nyarap yuk. Gue lagi kepingin makan bubur ayam nih. Atau lo mau nasi uduk?" tawarnya.
"Gue pengin ketoprak Ciragil."
Dev meringis. "Ciragil banget nih? Di deket sini- sini kan banyak!"
Rhea menggeleng keras kepala. Dev memutar bola mata. "Ya udah deh ayok. Daripada ponakan gue ileran. Lagian kaya Arkan aja deh lo jadi hobi makan ketoprak!"
Dev nggak sempat melihat ekspresi kaku sahabatnya ketika nama itu disebut.
Rhea hendak memutar kursi rodanya untuk masuk ke paviliun dan bertukar pakaian, namun lagi- lagi Dev menyelanya, "kata Ninis lo jadi nggak suka mandi ya? Ada ya sindrom orang hamil yang begitu? Atau dulunya elo juga nggak suka mandi?"
KAMU SEDANG MEMBACA
No Regrets
ChickLitAwalnya, persahabatan itu berjalan baik antara Rhea Shakuntala dan Erwin Andaru meskipun nyatanya Rhea menyimpan perasaan khusus pada pria itu. Namun, sejak Daru pulang dari Aussie, segalanya sudah terasa berbeda. Sehingga Rhea harus mencari apa ya...