Tiga

985 141 3
                                    

Pagi- pagi sekali sudah terdengar keributan dari dapur Winona.

Malam tadi, Rhea ketiduran di ruangannya. Ninis yang biasanya menginap di ruko, pulang ke Bekasi karena adiknya akan bertunangan hari Minggu besok.

Hanya dengan mengenakan kaus gombrong selutut, gadis itu turun ke bawah. Dipikirnya itu hanya keributan biasa antara Bang Is dan Mpok Zainab. Namun dilihatnya wanita berusia 34 tahun itu sedang meringkuk di bawah tangga. Raut wajahnya menampakkan kengerian.

Dipercepatnya langkah Rhea dan betapa terkejutnya gadis itu ketika kemudian mendapati Bang Iwan sedang bersitegang dengan seorang remaja berperawakan tinggi, ramping, dengan rambut dicat warna pirang.

Sam.

"Sam?" sapa Rhea bingung. Remaja 19 tahun itu menoleh. Wajahnya kuyu dan matanya merah. Anak ini jelas sedang mabuk.

"Hai, Rhe..." katanya dan mencoba mendekat dengan jalannya yang sempoyongan dan senyum cengengesan. Dia memang mabuk. Bang Iwan serta merta menyeret kerah kemejanya.

"Ini kenapa?"

"Dia mabok," bisik Mpok Zainab lirih. Meskipun cerewet dalam hal pekerjaan, perempuan satu ini sebenarnya adalah penakut. "Ati- ati neng Rhea,"

"Sam, lo kenapa?" Rhea mendekat ke arah adik tirinya itu.

Bukannya menjawab, anak itu malah mencolek dagu Rhea. Mata Bang Iwan sudah melotot, tangannya terangkat, bersiap menggampar Sam, Rhea mengangkat tangan untuk menghentikan niat yang sudah terbaca di mata lelaki pendiam itu.

Gadis itu akhirnya menyeret adik tirinya itu ke teras dapur. Mendudukkannya di atas kursi rotan, meminta Mpok Zainab untuk membuatkan segelas susu putih supaya hangover adik tirinya segera hilang dan otaknya bisa berfungsi kembali.

Rhea mengambil tempat di seberang Sam. Melipat kedua tangan, mengamati cowok itu dengan tenang.

Sepuluh menit berlalu.

Sam akhirnya menyerah memasang senyum menggoda pada kakak tirinya itu.

"Oke...oke," dia mengangkat kedua tangan tanda menyerah. "Gue nggak tahu kenapa gue di sini. Mungkin Axel yang ngelempar gue ke sini. " Katanya acuh tak acuh. Rhea tetap diam. Cowok itu melebarkan kedua paha, menumpukan tangannya dan menundukkan kepala.

"Please, Rhea..."

"Kak Rhea!"

"Gue nggak mau jadi adik elo seumur hidup. Rugi tau," matanya yang merah mengerling nakal ke arah Rhea.

Rhea melengos. Cowok ini memang sudah sinting sejak ayahnya menikahi ibu Rhea tiga belas tahun yang lalu.

Ketika itu usianya masih sekitar enam tahun. Hobi memelihara hewan- hewan menjijikkan yang disembunyikan di bawah kolong tempat tidurnya, atau di gudang rumahnya. Terkadang dia menjahili Monalisa--- kakaknya sendiri-- yang hanya dua tahun lebih tua dari remaja lelaki itu, dengan memasukkan telur katak ke lemari Mona, menyebabkan gadis itu menjerit tak karuan dan membuat ibu Rhea kumat darah tingginya.

Saat itu Rhea sama sekali nggak ambil peduli dengan kenakalan kedua saudara tirinya, ia lebih mengkhawatirkan keadaan Regan yang saat itu demam tujuh hari setelah teman sekolahnya berkata bahwa Regan tidak punya ibu lagi karena ibunya sudah diambil orang.

"Terserah elo," Mpok Zainab datang dengan segelas susu putih hangat. " Minum susunya terus pergi dari sini. Gue nggak mau berurusan sama kakak lo yang sinting itu!"

Sam mengerling nakal ke arah segelas susu di atas meja, lalu terang- terangan ke arah dada Rhea, yang sialnya hanya tertutup oleh kausnya.

Rhea tak pernah tidur menggunakan penutup dada. Baginya terkadang benda itu sangat menyiksa. Sayang sekali dia tidak mempertimbangkan akan datangnya saat- saat seperti ini. "Ada yang lebih enak dari ini," pandangan Sam seolah menantang.

No RegretsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang