_⌜04⌟_

35 13 12
                                    

Senyap. Terasa hampa padahal ada banyak insan yang duduk di kursi. Kepala yang hanya mendongak sesekali ketika merasa pegal, atau bahkan tidak ada waktu bagi mulut untuk berbicara, berbasa-basi menanyakan ini itu tentang acara telivisi tadi malam atau film yang terputar di saluran televisi khusus. Suasana seperti itu sudah harus dibiasakan saat murid SMA Wina Dharma harus mendekam di kelas A dan B.

Wira hanya terdiam di kursinya, membaca buku-buku mata pelajaran tanpa perlu mencatatnya seperti teman-temannya yang lain. Hanya butuh beberapa menit lagi hingga jam pelajaran pertama di mulai dan ia tidak mau buru-buru melakukannya. Meskipun sebenarnya dirinya adalah ancaman bagi murid mana pun di sekolah itu.

"Aku akan mengatakannya sekarang. Selagi aku membantumu menyelesaikan kasus-kasus ini, kamu juga harus membantuku."

Wira teringat percakapannya dengan Tora sesaat sebelum kembali ke rumahnya.

"Apa?"

"Ayahku. Aku mau kamu menggunakan kekuasaan milikmu itu untuk mencari ayahku."

Wira terdiam, dahinya mengerut tidak mengerti bagaimana remaja di depannya itu bisa meminta hal seperti itu. "Hei, meskipun aku kaya, bukan berarti punya kekuasaan di mana-mana." Ia terdiam lagi. Matanya tertuju pada ekspresi Tora yang sangat serius. "Tapi akan kucoba. Aku tidak berjanji apa pun."

"Kalau begitu berjanjilah."

"Jangan bercanda. Aku udah bilang kalau aku gak bakal janji apa-apa."

Tora menatapnya dengan tajam. "Kita lakukan ini untuk give and take. Aku bantu kamu nyelesain apa pun masalahmu di OSIS sekolah ini dan kamu bantu aku mencari ayahku." Tora mengulurkan tangannya, menunggu Wira untuk membalas jabatan tangannya.

Wira mengacak-acak rambutnya, lantas membalas jabatan Tora dengan kasar. "Jangan salahkan aku kalau enggak ketemu apa-apa."

Sebenarnya yang gila itu aku atau dia, sih? Wira menghela napas kasar kemudian menutup bukunya.

Dalam tujuh hari lebih, ia mengenal sisi Tora yang sangat banyak. Murid penerima beasiswa peringkat ketiga, lalu masuk ke kelas jenis C bukan B atau A yang seharusnya. Murid yang ramah dengan teman sekelasnya atau bahkan murid kelas lain. Tidak ada yang menganggap Tora buruk meskipun berada di kelas C, mungkin karena label beasiswa itu. Atau orang-orang benar-benar menyukainya.

"Kamu benar-benar bakalan ngelanjutin rencananya sama dia?"

Wira menegakkan kepalanya. Sudah lima menit sejak jam istirahat tiba dan ia memutuskan duduk di kursi kantin sembari membaca buku pelajaran dan meminum jus kotak. Ia menutup bukunya, kemudian mengangguk.

Yuna duduk dengan cepat di depan Wira. "Oh Tuhan! Kamu serius? Gimana kalau ada kejadian apa-apa lagi? Gimana kalau keluarganya ikut terlibat? Ini masalah di antara kita, Wir!"

Wira menatap Yuna serius. "Udah tenang?"

Yuna memalingkan pandangannya kemudian mengangguk pelan.

"Gak bakal ada kejadian kayak gitu lagi, Yun. Bang Rangga yang bakal jadi korban terakhir di sekolah ini. Kalau cuman kita doang yang gerak, gak bakal cukup buat ngebuktiin masalah itu, Yun. Kamu tau sendiri itu udah tiga tahun lalu, manusia mana yang mau ngungkit kejadian itu selain kita?" Wira terdiam sejenak. "Ini bukan di antara kita, Yun, tapi di antara OSIS dan Wina Dharma."

***

Suara ketikan di atas keyboard laptop memenuhi ruangan. Tangan yang sesekali menulis di atas kertas sembari mengucapkan beberapa kalimat dengan suara yang kecil. Hanya ada dua orang di sana, dua orang yang sangat dekat bagaikan sahabat lama.

Student Council ✅Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang