_⌜06⌟_

15 8 1
                                    

Tora harusnya mulai terbiasa ketika sudah menjadi murid dari SMA Wina Dharma bahwa segalanya dapat terjadi kapan pun dan di mana pun. Meskipun sebenarnya ia tidak ingin bertemu siapa-siapa di tempanya bekerja.

"Loh, kenapa ke sini, Bang?"

Di hadapannya kini ada dua seniornya, Adam dan Mona yang duduk di meja dua kursi saling berhadapan dan sudah ada dua minuman di sana. Mona berpose dengan membentuk jari v seolah memberikan kejutan.

"Kamu bisa izin buat istirahat sebentar?" Mona kini bersuara setelah Adam menyuruhnya menghentikan pose itu.

Tora mengangguk, kemudian kembali ke tempatnya memasak yang berada di sisi kiri meja-meja tersusun. Setelah berbicara dengan pemiliknya, Dewi, ia kembali ke tempat Adam dan Mona, menarik kursi lantas duduk di sisi mereka.

"Ada apa, ya, Kak?" Tora kini mulai menatap seniornya itu bergantian. Merasa perlu bersiap-siap untuk kondisi apa pun.

"Kamu bisa santai, kok. Kami ke sini cuman buat ngeliat kamu aja, sambil ngobrolin hal-hal ringan," jawab Mona santai. Ia meminum teh tarik yang ia pesan.

"Ah, oke. Tapi kalian tau dari mana kalau aku kerja di sini? Aku ngerasa enggak ngasih tau alamat gitu ke Bang Adam kemarin."

Mona tertawa lepas, Adam tidak merespon. "Adam itu bisa tau banyak hal dari hanya melihatnya. Ya, bahasa kasarnya dia stalker. Tadi aja pas istirahat bisik-bisik ke aku kalau mau ke sini—"

"Mon, kalimat kamu bikin salah paham," balas Adam dengan tangan yang menyenggol Mona supaya berhenti berbicara.

"Tapi, gimana kalau ada yang ngikutin kalian?"

Mona tersenyum. "Ini hari libur, kok. Kamu terlalu mengkhawatirkan segalanya. kita belum kenalan dengan rinci. Aku Mona Adelia, kelas sebelas IPA A, pemain inti ekskul voli, posisi wing spiker, penerima beasiswa peringkat ketiga." Mona mengulurkan tangannya, kemudian berjabat tangan dengan Tora.

Diam sejenak, Tora berusaha mencerna perkenalan itu. "Peringkat ketiga?"

Mona tertawa renyah lantas mengangguk. "Sebenarnya murid beasiswa itu fleksibel masuk di kelas mana. Mau kamu di A, B, C, D atau bahkan E, itu gak ada hubungannya. Nilai kamu tetap lebih tinggi daripada murid lain. Malahan di angkatan kami, peringkat pertamanya di kelas E."

Tora mengangguk mengerti, kemudian menyimpulkan jika Adam peringkat kedua beasiswa. Lalu pertanyaan muncul tentang siapa peringkat pertama.

"Peringkat pertama udah di D.O pas semester kedua tahun pertama," celetuk Adam seolah tahu apa yang dipikiran oleh Tora.

"Kenapa?"

Mona tertawa. "Bisa dibilang lingkungan Wina Dharma ini enggak cocok sama dia. Kasarnya, anak nakal. Jadi dia melanggar peraturan sekolah, peraturan OSIS juga, jadinya yah gitu, lah. Awalnya, sih, dipertahanin karena nilainya yang paling bagus sama prestasi olimpiade matematika. Terus, sebelum pemilihan ketua OSIS periode ini dia bikin masalah, yang akhirnya pembina serta jajaran yang berhak mengurus masalah beasiswa memutuskan buat D.O dia dengan persetujuan dari kepala sekolah dan yang bersangkutan atas hak itu."

Tora mengangguk-angguk. "Sebenarnya, berapa banyak rahasia yang dimiliki Wina Dharma?"

Adam tersenyum kecut. "Sangat banyak. Sampai kami sendiri enggak tau apa lagi yang belum kami ketahui. Kami harus segera mencari banyak informasi untuk ketua OSIS periode selanjutnya."

"Bukannya masih ada tujuh bulan lagi, Bang? Kenapa terburu-buru gitu?"

"Kita enggak tau apa yang bakal terjadi ke depannya, Tor. Sederhana. Meskipun peraturan OSIS dilarang melakukan kegiatan bersembunyi, kami juga melakukannya. Mungkin ada juga Burung Hantu di OSIS angkatan sekarang. Makanya kami berusaha melakukan apa saja selama kami bisa untuk saat ini," jelas Adam.

Student Council ✅Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang