Suara petikan gitar elektrik memenuhi kamar berukuran 5x5 meter. Suaranya nyaring membentuk sebuah melodi yang merupakan buatan sendiri. Kamar yang dihiasi dengan berbagai poster musisi barat tahun 80an dan beberapa dekorasi seperti kaset rekaman serta piringan kaset hitam.
Sang pemilik kamar akhirnya menghentikan petikan gitarnya, mencolokkan kabel dari gitar, lantas menyambungnya ke salah satu alat penghubung. Ia menggunakan headphone, lantas kembali memetik gitarnya. Ia sesekali berhenti sembari menuliskan beberapa kunci gitar di sebuah buku dengan sampul berwarna merah bertuliskan nama Adam dengan ukuran cukup kecil dan berbagai stiker.
Adam tergabung ke dalam band ketika lulus dari SMP. Dia masih bau kencur saat itu untuk mengerti lebih jauh tentang band, sampai murid SMA mengajaknya bergabung ke sebuah band untuk mengisi posisi gitaris yang masih kosong dengan genre band alternatif rock. Jika dihitung, sudah tiga tahun sejak ia menyelam di dunia musik seperti itu.
Adam tidak terlalu mempermasalahkan orang tuanya yang selalu menuntutnya untuk mendapatkan nilai yang tinggi selama ia masih bebas bermain musik. Awalnya, orang tuanya tentu tidak setuju dengan keputusannya, sehingga Adam memutuskan untuk keluar sembunyi-sembunyi supaya bisa mengikuti latihan band. Walau akhirnya tetap ketahuan dan dimarahi, tapi ia tetap tidak peduli.
Namun, demi menuruti perkataan orang tuanya, ia memasuki ekskul IPA dan tetap melakukan kegiatan bermusik secara sembunyi-sembunyi. Yang mengetahui identitas di luar sekolah hanyalah Mona dan Ricky, mereka adalah sahabat karibnya. Tidak terhitung, berapa kali dua sahabatnya itu selalu datang ke live house music ketika bandnya tampil.
Hanya saja, semuanya berubah ketika mereka mengenal OSIS dan Burung Hantu. Berbagai informasi yang ia terima dan rumor-rumor yang berterbangan di sisinya. Semua semakin jelas ketika ia menduduki posisi ketua OSIS dan mengelabui semua orang dengan sifatnya yang lain.
"Kenapa lu mau aja disuruh buat laporin anak OSIS, Ki? Apa, sih, susahnya buat bilang dulu ke gue atau Bang Brian?"
Percakapan di antara remaja yang sangat labil bermula. Semuanya masih dalam masa tidak bisa mengendalikan emosinya. Setiap detik yang berjalan maka akan ada emosi yang muncul. Menampakkan kekesalan atau ketidaksukaan terhadap sesuatu.
"Seenggaknya gue enggak mau jadi tersangka, Dam. Lu juga tau seberbahaya apa OSIS, kan?" Ricky, dengan emosi yang sama memuncaknya membalas dengan intonasi yang tinggi.
"Iya, gue tau! Tapi gue juga tau seberbahaya apa Burung Hantu, Ki. OSIS bahkan kena masalah gara-gara Burung Hantu. Mereka itu cuma ampas murid yang tukang main lapor!" teriak Adam. Ia kesal, tidak peduli lawan bicaranya itu adalah sahabatnya atau bukan.
Mereka hendak pulang ke rumah setelah rapat OSIS yang menegangkan beberapa menit lalu. Tidak banyak orang di parkiran, malah hanya mereka berdua di sana dengan beberapa kendaraan yang menunggu tuannya datang untuk dikendarai. Keduanya hampir saling adu jotos di parkiran yang sudah sepi itu.
"Dam, gue enggak mau debat masalah ini. enggak bakal selesai!"
"Sama, Ki! Tapi gue juga enggak mau kalau ada masalah yang buruk menimpa murid-murid di sini."
Ricky terdiam. Sahabatnya itu benar-benar marah. "Dam, lu terlalu berlebihan. Tugas OSIS enggak seberat itu. Itu bukan tugas lu buat menyelesaikan masalahnya." ia mendekat, lantas memegang bahu sahabatnya itu.
Adam mengepalkan tangannya, lantas menepis tangan Ricky dengan segera. "Kalau menurut lu ini berlebihan, mulai sekarang jauhi gue sama Mona, ki. Gue enggak mau laporan Burung Hantu malah ngecelakain kita." Setelah mengucapkan kalimat tersebut, Adam menuju motornya, menyalakan mesinnya lantas pergi meninggalkan Ricky di parkiran.
KAMU SEDANG MEMBACA
Student Council ✅
Novela JuvenilTora tidak menyangka, jika menjadi anggota OSIS di SMA Wina Dharma justru menjadi sakelar terburuk yang pernah ia hidupkan. Demi mempertahankan beasiswanya, ia terpaksa menjadi anggota OSIS di sekolah elit dengan berbagai jenis murid di dalamnya. T...