_⌜07⌟_

18 8 1
                                    

Hari itu liburan semester pertama. Untuk pertama kali di dalam hidup Wira ia bertemu seorang perempuan yang seumuran dengannya dari teman kakaknya. Awalnya ia sangat bersemangat, hingga akhirnya ia tahu bahwa gadis itu merupakan kesalahan terbesar dalam hidupnya.

Ia membenci siapa pun yang terlibat pada kejadian yang menimpa kakaknya, mengutuk siapa saja yang mengganggu dirinya dalam kesendirian.

"Aku akan membantumu."

Tiga kata itu menjadi belenggu untuk dirinya sendiri.

"Aku tidak pernah bermaksud buruk, tapi jika terus mengikuti rencana Yuna, maka aku tidak akan punya pendirian sendiri." Kalimat tersebut keluar dari mulutnya ketika ia bertemu dengan Tora.

Wira memakan roti bakar dengan isian mentega dan gula yang ada di atas piringnya. Menghabiskan tiga lembar kemudian segera memanaskan mesin motornya supaya bisa sampai di sekolah tepat waktu.

Anak politikus, keluarga dewan, orang kaya, sebutan itu dianggap bagian penting dalam hidup ayahnya. Tapi sejak awal kekayaan itu tidak berarti apa-apa di depan matanya sendiri. Memasuki sekolah Wina Dharma hanya sebuah batu loncatan untuk dirinya. Tora merupakan salah satu bidak baginya untuk melampaui apa saja yang ada di hadapannya.

Hingga saat itu, Tora berkata, "Tetapi saya akan membantumu." Empat kata sederhana, tetapi itu bermakna banyak untuk perubahan di dalam dirinya. Kalimat yang sama ketika Yuna mengulurkan tangannya saat ia berada di dalam keterpurukan.

Ia mempelajari tentang Tora dengan sangat cepat. Mencari tahu tentang Tora, mempelajari kepribadiannya, lantas mengalahkannya dengan kelemahan. Tindakan sebuah pengecut dan ia menyadari itu. Demi mencapai tujuannya, ia akan melakukan apa saja untuk itu.

"Menggunakan anak yang tidak tahu apa-apa itu, membosankan." Adam bersuara saat Wira mendatanginya di ruangan OSIS yang hanya terdapat dirinya dan Wira. Selama lima menit, adik kelasnya itu tidak berbicara selain memberikan beberapa lembar kertas yang berisikan visi dan misi seksi kedisiplinan dan norma, menunggu revisian yang diperlukan dari ketua OSIS, lalu ia memutuskan memulai percakapan di antaranya. Tersisa lima belas menit sebelum bel pelajaran pertama dimulai.

"Kami mendengarkan permintaannya. Jadi kami akan melindunginya meskipun yang harus kami lawan adalah murid penerima beasiswa peringkat pertama atau pun anak dari anggota dewan," lanjut Adam. Ia membaca lembaran kertas yang diberikan oleh Wira, membacanya dengan sangat teliti.

"Keluarga saya tidak ada hubungannya dengan itu."

"Maka pekerjaannya tidak ada hubungannya dengan kasus abangmu itu, sederhana, kan? Perlahan yang kamu lakukan akan memburuk, Wira."

Wira diam mematung, sebenarnya ia sudah siap akan kemungkinan akan orang lain yang mengenal dirinya atau bahkan saudaranya, tetapi ia tetap saja merasa kaget. "Demi mencapai sebuah tujuan harus ada yang dipertaruhkan."

"Tetapi dia bukan berada di pihakmu. Dia berada di pihak OSIS karena kewajibannya sebagai penerima beasiswa."

Wira benar-benar kalah telak dalam perdebatan singkat itu. Dalam sekali bicara, Adam sudah membuatnya terdiam berkali-kali. "Jangan ikut campur."

Adam berdiri dari tempatnya, membawa beberapa tumpukan kertas di dalam pelukannya. "Peraturan OSIS nomor dua puluh satu, seluruh anggota OSIS dilarang melakukan kegiatan yang bersifat sembunyi-sembunyi. Lalu peraturan OSIS nomor enam, ketua OSIS berhak mencampuri urusan anggotanya apabila berkaitan dengan sekolah sebagaimana semestinya. Kita bermain di lingkungan OSIS, karena itu aturan yang cocok berasal dari OSIS. Berbeda jika berada di lingkungan kakak kelas dan adik kelas, saya pasti tidak akan ikut campur, lebih seperti tidak peduli. Untuk apa? Itu hanya membuat saya kesusahan."

Student Council ✅Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang