Kelas tengah dipenuhi pertanyaan-pertanyaan atas apa yang telah terjadi. Siapa pun yang masuk ke kelas 10 IPS C akan mengeluarkan pertanyaan yang sama.
"Apa yang terjadi padamu?"
Tangan kiri Zaki dililit dengan kain kasa. Wajahnya dipenuhi handsaplast, dan bajunya cukup lusuh. Berbeda sekali dengan penampilannya yang biasanya terlihat rapi. Ia bahkan lebih banyak diam daripada biasanya, padahal satu kelas tahu jika ia adalah murid yang paling banyak berbicara.
"Jatuh tadi pas naik tangga. Untung UKS udah dibuka," jawabnya santai. Ia bahkan menjawabnya dengan cengengesan, berusaha meyakinkan orang-orang bahwa lukanya bukan karena hal lain dan bukan juga perkara serius.
Pemuda berambut keriting itu terus tersenyum, sampai akhirnya Tora menatapnya. Senyuman palsu yang ia tunjukkan sejak tadi itu menghilang. Zaki tertunduk, wajahnya kini terlihat lesu, seperti telah melakukan banyak pekerjaan dalam hitungan detik.
Zaki masih tidak berbicara, begitu juga dengan Tora. Tora segan ingin bertanya, sedangkan Zaki tidak mau Tora khawatir. Mereka menahan diri mereka sendiri.
Tora menghela napas panjang, kemudian duduk di depan Zaki. "Pasti mereka, kan? Para abang kelas?"
Zaki mengangguk. Ia masih tidak mau bersuara. Ia masih ingat rasanya, intimidasi yang membuatnya tidak bisa bergerak dan hanya menerima pukulan demi pukulan. Bahkan ancaman untuk tidak memberitahukan kejadian tersebut pada siapa-siapa.
"Bima Arnell. Yoga Pratama, Harvel Tito. Apa ada di antara tiga orang itu yang melakukannya?"
Zaki terdiam cukup lama, sampai akhirnya ia mengangguk. Ia memastikannya terlebih dahulu. "Ada sepuluh orang. Tapi aku cuma tau dua nama, sisanya gak tau."
Sepuluh orang adalah jumlah yang lebih banyak daripada yang sebelumnya mengganggu Tora. "Berarti ini udah yang kedua kalinya. Aku bakal kasih laporan ke Kak Mona sama Bang Adam.
Zaki berseru tertahan. "Jangan!" Ia meneguk air liurnya. Tubuhnya terasa ngilu, kembali teringat bagaimana pukulan itu terasa mengenai tubuhnya. "Kalau sampai Bang Adam tau, mereka bakal lebih parah dari ini."
"Tapi kalau kita diam, mereka juga bakal mukulin kamu, Ki."
Zaki menggeleng. "Seenggaknya, gak separah kalau kita kasih tau Kak Mona."
Tora menatap teman sekelasnya itu dengan serius. Berusaha merasakan ketakutan yang menyelimuti pemuda berambut keriting tersebut. "Semuanya bakal baik-baik aja, Ki. Kalau aku enggak gerak, buat apa aku di seksi kedisiplinan. Bang Bima udah kelewatan kali ini."
Sebenarnya Zaki merasa lega, tapi rasa takut itu turut mengiringi. Membuat dirinya merasa tidak tenang sedikit pun. Bukan hanya itu, perasaannya terasa lebuh buruk. Ia merasa akan ada kejadian tidak mengenakkan jika Tora tetap melaporkan kejadian tersebut pada Mona atau bahkan Adam.
"Ini adalah peringatan." Zaki bersuara. "Bang Bima bilang gitu sebelum dia pergi."
Tora menoleh. *Peringatan?"
Zaki mengangguk. Ia sendiri tidak mengerti peringatan tentang apa, tapi setidaknya ia tidak mau ada yang mendapatkan luka fisik yang sama seperti dirinya.
***
Wira tidak bersuara sedikit pun sejak ia menjemput Tora di kelasnya untuk pergi ke ruangan OSIS atas panggilan rapat. Bukan rapat dadakan atau bahkan rapat bulanan. Rapat bulanan sudah mereka lakukan minggu lalu. Rapat kali ini bertujuan pada acara tahunan sekolah yang masih sebulan lebih lagi.
Tora terlihat tidak ingin diganggu di mata Wira. Berbeda dengan Yuna. Ia tidak berbicara lagi dengan Yuna sejak kejadian di kantin yang berniat menjebak Yuna dan beberapa Burung Hantu. Mereka benar-benar kembali ke masa pertama kali bertemu, terasa canggung. Tidak ada yang mengeluarkan suara untuk mencairkan suasana.
KAMU SEDANG MEMBACA
Student Council ✅
Genç KurguTora tidak menyangka, jika menjadi anggota OSIS di SMA Wina Dharma justru menjadi sakelar terburuk yang pernah ia hidupkan. Demi mempertahankan beasiswanya, ia terpaksa menjadi anggota OSIS di sekolah elit dengan berbagai jenis murid di dalamnya. T...