_⌜02⌟_

46 16 17
                                    


"Gimana sekolahmu, Nak, udah terbiasa?"

Tepat saat Tora duduk di atas lantai dan mulai melahap sarapannya ibunya mulai bersuara. Waktu masih menunjukkan pukul lima pagi lewat lima belas menit. Dengan kesadaran yang masih setengah, Tora mengangguk. "Udah, Bu. Paling capek dikit ngikutin materinya."

Ibunya tertawa renyah. "Pelan-pelan aja, ya. Jangan dipaksain. Kesehatanmu lebih penting."

Tora mengangguk pelan. "Siap. Ibu gimana, aman-aman aja, kan?"

Ibunya mengangguk santai, setelah menelan makanan yang ia kunyah, ia lanjut berbicara. "Aman selalu kalau Ibu. Jangan terlalu khawatir. Habis ini tolong cuci piring dikit, ya, nak. Ibu berangkat dulu."

Setelah menyalami ibunya itu, Tora melanjutkan makannya. Ibunya selalu pergi ketika jam lima lewat tiga puluh menit. Sedangkan kakaknya pergi ketika jam menunjuk pukul enam lewat tiga puluh menit, bersama dengan Tora. Ia menumpang kakaknya ketika pergi sekolah, saat pulang akan jalan kaki atau naik angkot. Keseharian yang sudah ia lakukan sejak masih duduk di sekolah dasar.

SMA Wina Dharma membagi murid dengan dua jenis kelas. Urutan kelas A dan B merupakan aliran kelas unggulan, sedangkan C, D, dan E merupakan jenis sisa. Meskipun dianggap sisa, nilai mereka di atas rata-rata. Pihak OSIS tidak membatasi anggota dari jenis kelas manapun. Mereka bersedia menampung murid yang berkompeten demi memajukan sekolah itu sendiri. Meskipun kunci dari murid yang lolos berasal dari pembina itu sendiri.

"Sebaiknya kamu mengganti divisi kamu."

Tetapi Tora mendengarkan hal di luar dugaannya. Di depannya, Wira menatapnya dengan tajam seolah ia adalah saingan yang paling berat. Padahal baru lima menit bel istirahat berbunyi dan ia hendak menghabiskan bekalnya. "Sebelumnya bisa bicara baik-baik aja?"

Wira yang mendapati tatapan aneh dari kelas Tora akhirnya duduk di depan Tora dengan helaan napas yang panjang. Ia sendiri tidak tahu sedang duduk di kursi siapa.

"Saya sebenarnya tidak keberatan. Tapi, murid dari kelas unggulan kayak kamu mungkin gak bakal tau rasanya tertekan dikelilingi murid kelas unggulan meskipun tetap seorang penerima beasiswa. Oleh karena itu, saya memutuskan memilih seksi itu untuk menunjukkan bahwa kelas non unggulan juga bisa mendapatkan hak yang sama. Ini mungkin untuk bertahan dengan beasiswa yang saya terima," jelas Tora. Ia menyimpan kembali kotak bekalnya, kemudian mulai meminum air putih dari botol minumnya yang berukuran satu liter setengah.

Sejujurnya Wira tidak fokus mendengarkan Tora, ia hanya terkejut melihat apa yang dibawa oleh Tora. Ia dengan cepat menggeleng, kembali fokus pada topik percakapan. "OSIS dan jenis kelas itu dua hal yang beda. Tujuan kita di OSIS untuk memajukan sekolah, dan nilai hanya berlaku di kelas." Wira terdiam, kembali memikirkan apa yang diucapkan Tora. "Tapi, kamu gak bakal dapat suasana hangat kayak gini di kelas unggulan. Mungkin bagi kamu nilai dan jenis kelas ini saling berhubungan di OSIS, tapi dengan pemikiran seperti itu kamu udah gagal jadi pemimpin."

Tora menatap Wira dengan serius, memperhatikan garis wajah, dan senyuman yang bahkan terasa seadanya. "Memangnya kenapa kamu milih seksi kedisplinan dan norma? Bukannya masih banyak divisi yang lain?"

"Kalau aku kasih tau, kamu bakal lepasin jabatan ketua di seksi itu enggak?"

Tora menggeleng dengan cepat. "Tetapi saya bakal membantu. Kamu punya tujuan yang harus diselesaikan, kan? Setiap keputusan yang diambil pasti ada tujuannya. Mau baik atau pun buruk, semua itu tetaplah tujuan. Kita bisa bekerja sama sebagai penerima beasiswa."

Sontak Wira berdiri dari tempatnya, ia kaget sendiri mendengar ucapan Tora. "Itu bukan urusanmu! Tujuanku gak ada hubungannya denganmu." Lalu ia segera pergi dari kelas Tora tanpa tambahan kalimat apa pun.

Student Council ✅Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang