_⌜13⌟_

12 7 0
                                    

Jika dibilang akrab dengan Wira, sebenarnya Tora tidak begitu akrab dengan pemuda itu. Dengan Wira saja dia tidak akrab, apa lagi dengan Yuna yang hanya beberapa kali saja ia bertemu. Gadis yang biasanya menggunakan bando itu, hari ini sama sekali tidak menggunakannya. Ia membiarkan rambutnya terurai menutupi lehernya sesekali terhembus angin pelan.

Dengan dua buku catatan dan satu pulpen di tangannya, ia duduk di kursi depan Tora. Beberapa murid memperhatikan gadis dari kelas lain yang datang itu. Ia tidak terganggu sedikit pun dengan tatapan yang menusuk itu.

"Kalau ada yang mau diomongin, bilang aja, Yun. Aku enggak kayak Wira yang tau apa pun yang kamu pikirkan," ujar Tora setelah lima menit Yuna duduk di hadapannya dan menulis.

Yuna berhenti menulis. Ia baru menulis paragraf pertama pada tugas observasi mata pelajaran bahasa Indonesia.

"Berhentilah."

"Berhenti?"

Yuna mengangguk. "Berhentilah untuk ikut campur pada masalah Wira. Sejak awal orang seperti kamu enggak seharusnya terlibat."

Tora terdiam, ia sangat mengerti pada kalimat itu. Bahkan Jika bisa, ia ingin mengulang waktu untuk tidak menerima beasiswa di Wina Dharma dan bersekolah di sekolah negri saja. Akan tetapi, nasi sudah menjadi bubur. Ia sudah terlibat jauh di OSIS. Bulan demi bulan berlalu dengan masalah sulit yang ia terima. Ini bukan lagi perihal murid baru.

"Aku juga mau. Aku juga mau berhenti kalau bisa. Bahkan aku mau waktu terulang supaya aku enggak masuk ke sini. Cuma, semakin lama rasanya semakin enggak bisa lepas. Seperti aku udah terjerat jauh pada masalah ini. Saat ini bukan hanya masalah Wira, tapi masalah pada sistem OSIS dan jejerannya." Diam lagi. Ia tidak mau berbicara berbelit-belit, terlebih ada banyak murid di kelasnya yang mungkin saja mendengarkan mereka.

"Kalau begitu keluar saja dari OSIS. Keluargaku akan membiayai uang sekolahmu. Pindahlah saat semester kedua nanti."

Tora tersenyum cengir, lebih seperti ekspresi kesal. "Ini kedua kalinya ada orang yang mengatakan akan membayarkan uang sekolahku. Jika kalian bisa melakukan hal tersebut, biayai saja anak-anak di panti asuhan yang perlu biaya untuk sekolah. Bukan malah menghamburkannya untuk tutup mulut."

Yuna menutup bukunya, ia benar-benar tidak melanjutkan tulisannya. "Ini bukan untuk tutup mulut, Tor!"

"Heh, kalau gitu biarin aja aku di OSIS sampai semua masalah ini selesai. Kalau bukan untuk tutup mulut, bukannya kamu enggak perlu takut. Atau sebenarnya tujuan kamu bukan bantuin Wira? Tapi ngejebak dia sama kayak senior dulu?"

Suara nyaring terdengar dari tamparan tangan Yuna ke pipi Tora. Rasanya ngilu, bahkan seluruh pandangan tertuju pada mereka. "Tarik kembali kata-kata kamu."

Tora menatap Yuna, gadis itu seperti hendak menangis setelah mendengarkan kalimat Tora. "Enggak bakal. Enggak sampai kamu yang cerita, kenapa kamu segininya maksa aku buat berhenti."

"Bangsat."

Yuna mengambil buku dan bolpennya lantas pergi dari kelas Tora dengan umpatan tidak jelas.

Tora berpikir suasana kelas akan menjadi canggung setelah kejadian tadi, tetapi murid di kelas justru menepuk tangan sembari bersiul.

"Hidup Tora!"

"Wuu!"

"Gokil parah. Mutusin cewek di kelas!" seru yang lain.

Wajah Tora memerah. "Ngawur banget, anjir! Bukan mutusin cewek."

"Halah!"

"Woo, hidup Tora!!"

"Hidup kelas C!"

Tora tidak habis pikir. Padahal situasi tadi saja sungguh mencekam, ia seperti mempertaruhkan segalanya untuk berbiara seperti itu, tetapi teman-teman sekelasnya justru menanggapi pertikaian mereka sebagai lelucon antar pasangan.

Student Council ✅Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang