2

1.6K 146 6
                                    

Tik... Tik... Tik...

Memang tidak ada alasan yang pasti mengapa dirinya sendiri mau tetap tinggal dan mengambil pekerjaan di kota berbahaya seperti ini. Kini Law hanya berjalan tanpa tujuan. Indera penglihatannya hanya menatap sebentar sekelilingnya dengan perasaan yang sulit dijelaskan.

Bekerja menjadi dokter bedah di rumah sakit kota Sabaody bukanlah sekadar paksaan dari pihak manapun. Melainkan keputusan yang telah diambilnya di masa lalu. Jika ingatan Law tidak salah, kedua orang tuanya menolak pilihannya untuk bekerja di Kota hujan ini. Tetapi Law tidak pernah menyesalinya sama sekali.

Di bawah langit mendung ini, dengan genangan air yang semakin meninggi di setiap detiknya, Law telah berjalan menelusuri jalanan Kota hujan itu. Sebuah buku catatan dikeluarkan dari kantung jasnya, sebuah pulpen, dan jari-jarinya mulai lincah menulis beberapa kata di sana.

Kedua matanya mengamati dengan baik setiap perubahan yang dialami Kota hujan ini dan menulisnya sebagai catatan. Beberapa kali ia menganggukkan kepalanya, lalu menghela napas. Beberapa kali ia mendesis dan mengerutkan dahinya. Selesai mencatat dan mengamati, Law akhirnya memilih untuk bersandar di tiang yang basah. Sambil mengamati dua atau tiga orang berjalan memotong genangan air dengan tatapan tanpa minat. Ia lalu mengeluarkan ponselnya dan memeriksa jam, sudah satu jam ia habiskan di sini. Law lalu mengecek pesan yang belum dibacanya.

Marco

Kau di mana?

Setelah membaca pesan itu, Law tidak berniat untuk membalasnya. Ia hanya menggaruk kepalanya yang tidak gatal dan menghela napas panjang.

"Apa ada pasien dadakan lagi?" Gumamnya pelan. Tiba-tiba ia terkekeh ringan. Tetapi Law tetap berencana untuk tidak membalas pesan itu.

TING!

Suara notif dari pesan lainnya tiba-tiba terdengar. Law melihat sebuah nama yang tertera.

Ayah.

Kedua matanya langsung terbuka, dahinya mengerut, terdapat ekspresi tidak suka di wajahnya.

Ayah

Pulang lah!

Membaca pesan itu hampir saja membuat Law tertawa renyah. Bagaimana mungkin ayahnya itu menyuruhnya untuk pulang ke rumah yang membosankan itu, sementara kota hujan ini lebih menyenangkan untuk di tinggali.

Law berencana untuk menghapus pesan itu dan mengabaikannya. Ia tidak begitu peduli dengan pesan yang dikirimkan oleh ayahnya itu. Law lalu mendengus malas dan mengamati awan mendung itu untuk kesekian kalinya. Ekspresi wajahnya terlihat rileks dan perasaan hatinya menjadi damai.

"Apa salahnya dengan hujan?" Gumamnya kemudian.

Sebuah suara entah darimana tiba-tiba terdengar. Suara khas yang berat namun cempreng membuyarkan lamunan Law seutuhnya. Pria itu terkejut dan melompat di saat bersamaan. Ia menoleh dan mendapati seseorang sudah berdiri tepat di sampingnya. Seseorang yang tidak pernah dikenalnya sedang tersenyum sambil menatap awan mendung itu. Payung merah melindunginya dari rintikan hujan.

"Apa yang salah dengan hujan?" Seseorang itu mengulangi kata-kata Law, kemudian ia menoleh, menatap Law dengan intens dan tersenyum manis.

Law sempat terpukau dengan senyuman manis itu, pipinya terasa memanas, jantungnya berdebar kencang. Nadinya berdenyut lebih keras dari biasanya.

•••

"Aku tidak pernah melihatmu sebelumnya..." Pria dengan rambut hitam dengan tubuh mungil memperlihatkan gigi-giginya yang rapi saat tersenyum. "Apa kau orang baru?"

Law menggeleng gugup. "Ti-tidak juga," jawabnya pendek.

Pria mungil itu memiringkan kepalanya sedikit sambil terus mempertahankan senyumannya. "Lalu apa yang kau lakukan di sini?"

"Ha-hanya mengamati..." Law menjawab dengan jujur. Sebenarnya tugas mengamati kenaikan genangan air bukanlah tugasnya. Ia melakukannya karena dokter yang bertugas biasanya sedang sakit, jadi Law datang untuk menggantikan.

"Mengamati apa?" Tetapi pria mungil itu terus bertanya kepada Law tanpa jeda.

"Hanya tugas sebagai dokter."

Pria mungil itu terkejut. "GAPS! Kau seorang dokter?" Law hanya mengangguk kecil sebagai jawaban. Pria mungil itu tiba-tiba menarik tangan Law dan menariknya ke suatu tempat. "Kalau begitu... bisakah kau menolongku, Pak Dokter?"

"Hei, mau kemana kita?" Law lalu menepis tarikan tangan pria mungil itu.

"Tolong bantu aku, Pak Dokter!"

Law mengeratkan genggamannya dengan payung birunya. "Jika kau membutuhkan bantuan, maka kau harus pergi ke rumah sakit! Bukankah itu fungsi rumah sakit?"

"Te-tetapi... jika aku pergi ke rumah sakit untuk meminta pertolongan, kemungkinan keluargaku tidak mampu untuk membayar tagihannya!"

Pria mungil itu mengikat jari-jarinya. "keluargaku miskin, tidak masalah jika Pak Dokter tidak ingin membantuku... maaf karena aku sudah lancang."

Pria mungil itu berniat untuk pergi dari sana, ekspresinya terlihat sangat kecewa. Ada perasaan penasaran dari Law dengan pria mungil itu. "Tunggu!" Katanya tiba-tiba.

Pria mungil itu berhenti melangkah dan menoleh. "Ada apa, Pak Dokter?"

Law awalnya ragu untuk meneruskan kata-katanya, tetapi melihat ekspresi pria mungil itu yang sangat kecewa memberikan celah bagi Law.

"Aku akan membantumu," ucap Law singkat.

Ada perasaan senang dan mata yang berbinar-binar yang dikeluarkan oleh pria mungil itu. "Apa kau bersungguh-sungguh?" Ia memastikan.

"Cepat katakan keluhanmu sebelum aku berubah pikiran!" Law berkata dengan sinis.

Pria mungil itu mengangguk cepat, lalu menarik lengan Law dan mengajaknya untuk berlari bersamanya. "Ayo, berlari lah, Pak Dokter!"

"Bergegaslah, Pak Dokter!"

Law berusaha mungkin untuk menyamakan irama larinya dengan si pria mungil itu. "Sebenarnya kenapa kita berlari?" Napasnya sedikit terengah-engah karena sulit untuk menyamakan iramanya dengan si pria mungil itu.

Pria mungil itu hanya tertawa renyah sambil memperlihatkan deretan giginya. "Mama Makino akan segera melahirkan. Aku, Ace, dan Sabo di suruh Ayah Shanks untuk mencari seseorang yang mungkin bisa membantu persalinan Mama Makino!" Jelasnya.

Law melotot panik. "Me-melahirkan?!" Ia memekik. "Kenapa kau tidak cepat-cepat membawa Mama Makino-mu ke rumah sakit?!"

Pria mungil itu melanjutkan tawanya. "Kau ini lucu sekali, Pak Dokter." Ledeknya. "Kami ini miskin. Tidak kah aku sudah mengatakannya tadi?"

"Berlari lah secepat mungkin, Pak Dokter! Kenapa kaki-kakimu lambat sekali?" Lanjutnya. "Kalau kau berlari selambat ini, Mama Makino pasti lahiran duluan!"

Mendengar itu membuat Law merasa sangat jengkel. Ia menepis tangan pria mungil itu dan mulai berlari dengan iramanya sendiri. "Lepaskan aku! Jangan menarikku! Aku bisa berlari sendiri!"

Law memelototi pria mungil itu dengan tatapan tidak suka. "Cepat bawa aku ke tempat Mama Makino-mu!"

Pria mungil itu lalu tersenyum lebar. "Aye, aye, captain!"

HUJAN || LAWLU ✅Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang