Bagian ketujuh

12.6K 1.4K 116
                                    

Jam menunjukan pukul 21.23, Haruto termenung menatap pantulan dirinya di cermin. Infusan sudah terlepas dari tadi sore, ia sengaja merengek pada Johnny agar melepaskan benda sialan yang membuat tangannya sakit.

Haruto mengusap jidatnya yang terdapat bekas jahitan, entah lah ia juga tau itu bekas jahitan karena apa.

Sudah terhitung satu minggu lebih dirinya berada di dunia fiksi ini. Namun, yang ia bingung kan adalah alur cerita yang menurutnya melenceng jauh, dimana seharusnya Asahi yang paling membencinya bukan malah semakin menempel seperti perangko.

Laki-laki berusia 15 tahun itu kini menidurkan dirinya, menatap langit langit kamar yang tampak terang oleh lampu.

Beberapa hari ini, Haruto tengah merindukan sang Bunda.

Bunda Lisa.

"Kangen bunda.. " Biasanya, setiap malam bunda akan mengomelinya karena membuat kegaduhan dengan menyetel lagu sekencang mungkin.

Ia jadi merindukan dunia aslinya, ia rindu Bunda Lisa ia juga rindu Ayah Kenzo.

Ia rindu juna- tetangga sekaligus sahabat nya dari kecil yang selalu menganggu nya setiap pagi, selalu menakuti Haris dengan ulat pisang disetiap paginya.

Seperti malam ini, biasanya jam sembilan malam Bunda akan rutin membuatkan susu hangat untuknya. Kata Bunda agar Haris bisa tidur nyenyak, karena memang dirinya mengidap insomnia parah. Bahkan Haris pernah tak tidur selama 3 hari atau bahkan bisa lebih. Jadi, Bunda selalu membuatkan susu panas untuknya.

"Mau sampai kapan melamun seperti itu?"

"ANJING" Latahnya

Haruto berjengit, ia langsung saja terduduk saat suara seseorang mengagetkannya.

Ia menatap Hanbin nyalang "Kalau masuk tuh ketuk pintu dulu kek!"

Bisa jantungan lama-lama kalau begini, sudah sering sekali makhluk makhluk disini hadir seperti Jailangkung.

"Mulutmu" Tekan Hanbin tak suka, ia benci sekali ketika mendengar putra bungsunya mengumpat "Ayah tak suka dengan cara bicara mu yang sekarang, Haruto"

Haruto memutar bola matanya malas "Ayah? Siapa?"

"Gue gak inget tuh"

Hanbin menghela nafas sabar, Haruto kini menatap dirinya dengan senyum mengejek. Ia akui dirinya memang salah, dirinya lah yang menyebabkan Haruto seperti ini. Andai dulu, ia tak membenci haruto dan tak menyalahkan bungsunya atas kepergian Jennie.

Hanbin duduk di tepi ranjang si bungsu, ia menatap haruto dalam membuat haruto bergidik ngeri "Ngapain sih om liatin gue gitu banget?"

Haruto menutup wajahnya menggunakan selimut, Hanbin tak mengeluarkan satu patah kata pun namun matanya masih fokus tertuju pada Haruto

Haruto sedikit menurunkan selimutnya, ia mengintip dan melihat tatapan Hanbin masih sama "Om.. "

Haruto mulai mendekat, ia melambaikan tangannya didepan wajah Hanbin yang masih menatap dirinya tanpa kedip "Om! Woy! Lo gak homo kan?!" Haruto sedikit meninggikan intonasi bicaranya.

Tapi, tak ada pergerakan sedikit pun dari sang ayah. Hanbin masih tetap sama diam, menatap haruto semakin lekat. Bahkan mata itu tak berkedip barang sedetikpun, haruto jadi takut jangan-jangan Hanbin kesurupan lagi.

Apa di dunia fiksi juga ada setan?

Haruto menggeleng, pemikiran macam apa itu? Ia tak masuk dalam cerita bergenre horor.

"Om lo-"

Grep

Mata haruto membola ketika Hanbin tiba-tiba saja memeluknya, mendekap tubuh kecilnya begitu erat "Maaf.. " Ucapnya dengan suara parau

I'm (Not) Haruto || TRANSMIGRASI BOYTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang