"Arkanza, gue boleh minta tolong buatin visa sama tiket pesawat?. Lino, lo cari apart yang ada disekitaran Melbourne", titah Edgar kepada dua teman sekaligus rekan kerjanya.
Keduanya yang awalnya sibuk dengan latop kerja masing-masing langsung mendongak kearah Edgar dan menatapnya heran, "Ha?", ucapnya serempak.
Edgar menggusar wajahnya, "You really didn't hear it?", alisnya terangkat dengan sedikit tekanan diwajahnya.
Arkanza dan Lino menelan ludah, "K-kita denger, kita denger. Tapi lo ngapain mau booking aparat di Melbourne?", tanya Lino.
"Hooh, ngapain juga bikin visa?", timpal Arkanza.
"Mau jual cabe!", geram Edgar.
"Jual cabe ngapain jauh-jauh di Melbourne?, lo ke pasar aja sono. Dijamin dah dengan tampang lo yang kelasan kaya gini belum ada lima menit langsung laku", oceh Lino, dia menganggap ucapan Edgar dengan serius?.
Edgar menggebrak meja dihadapannya membuat Arkanza dan Lino lagi-lagi menelan ludah dengan kasar, "Make it now. Or will I cut your salary?".
Buru-buru Arkanza dan Lino berdiri dengan tegap dan membuat hormat dihadapan Edgar, "READY, SIR!, WE WILL DO IT!", ucap keduanya dengan serempak.
"Good boy", Edgar tersenyum tipis dan keluar ruangan.
Setelah bosnya melenggang menjauh, kedua manusia itu kembali duduk dengan lemas, "Kalo Edgar udah ngomonh gitu...jangan..jangan pernah deh lo ngelawan..", ucap Arkanza terbata.
"Bener...haduh...jantung gue kenapa lembek banget dah..", Lino ikut terengah, "Eh tapi, Edgar buat apaan ya?. Apa dia mau selingkuh disana?, buset. Jahat banget dia?!, kasian kan Ayara!".
Arkanza mendekatkan kursinya dan menoyor kepala Lino, "Mikir lo kejauhan!, biarin lah mau dibuat apaan sama dia. Orkay mah bebas", Arkanza kembali meletakkan kursinya seperti semula dan melakukan kerja. Lino mengangguk pelan, ia pun kembali melakukan pekerjaannya.
•÷•
Edgar meletakkan handphonenya saat seorang wanita datang keruang kerjanya, laptop Edgar yang masih menyala menampilkan kerjaan dari kantornya yang masih belum selesai.Wanita itu berdiri disamping Edgar, menatap pria dihadapannya dengan senyum, "Belum selsai kerjanya?", Ayara mengelus punggung Edgar.
Edgar menggeleng, menggenggam tangan Ayara yang tadinya mengelus punggung tegap miliknya. Edgar mengelus punggung tangan Ayara dan mengecupnya singkat, "Belum sayang".
Tangan Ayara ditarik oleh Edgar hingga ia duduk diatas pangkuan pria itu, dengan posisinya saat ini. Edgar melanjutkan pekerjaannya dengan Ayara yang berada diatas pangkuannya.
Mata Ayara melirik satu persatu barang yang ada diatas meja kerja Edgar hingga matanga tertarik pada sebuah kertas kecil yang berwarna warni yang memiliki lem pada ujung sisinya.
Tangan Ayara bergerak mengambil benda itu, "Ini buat apa Kak?", tanyanya memperlihatkan barang yang ia pegang.
Edgar beralih, "Buat nandain yang penting", ucapnya lalu melanjutkan aktivitasnya kembali.
Ayara mengangguk paham, ia mencabut satu helai kertas berwarna ungu dan menempelkannya dipipi kanan Edgar. Pria itu terdiam sejenak dan dengan santai melanjutkan pekerjaannya.
Sungguh, sangat susah menahan senyum bagi Edgar saat ini, "You are very important to me", Ayara mendekatkan wajahnya dan berbisik, wanita itu menyadari Edgar yang sedang menahan salting dari tadi, "Senyum aja Kak, gada yang larang", kekeh Ayara.
Edgar mencabut sehelai kertas label berwarna pink dan menempelkannya pada ujung hidung Ayara, untuk bonus. Edgar mengecup bibir Ayara, "You are also very important to me", balas Edgar berbisik.
Keduanya tersenyum dan terkekeh, Ayara menambahkan 3 label dengan warna yang sama sehingga wajah Edgar menyerupai kucing, pria itu hanya diam pasrah.
"Oh iya sayang, saya sudah mendapatkan tiket, visa, serta apartemen. Kamu bisa berangkat besok", ucap Edgar.
Ayara tersenyum sumringah, "Yes!, makasih Kak, tapi...aku berangkat sendiri?..", ucapnya dengan suara kecil.
"Saya akan menyusul nanti, you don't worry. Besok saya antar ke bandara ya?, jam penerbangan tepat pukul sembilan", Ayara mengangguk dan tersenyum, Edgar ikut tersenyum dan menggusar rambut Ayara, "Good girl".
•÷•
Vano yang baru saja pulang dari hari melelahkan nya dikantor duduk berehat diatas kursi panjang besi berwarna putih yang langsung menghadap indahnya kota pada malam hari.
Aing yang berhembus menyejukkan badan membawa suasana sunyi yang menenangkan, keadaan kota pada malam hari masih ramai karena para karyawan kantor baru saja pulang.
Vano menghela nafas panjang, pekerjaannya begitu terasa melelahkan hari ini. Saat Vano sedang merasakan sejuknya udara malam, sebuah dering handphone yang ada didalam sakunya menyela.
Tangannya bergerak merogoh saku dan mengangkat sambungan telfon dari sang Ibu, "Halo, Mam?", sapa Vano.
"Hello, son. Can you go home now?, Mama needs you", ucap seorang wanita disebrang sana, suaranya terdengar parau.
"Yes, Mam. I'll be home soon", Vano mematikan sambungan telfon dan bergegas pulang kerumah, ia takut terjadi sesuatu oleh sang Mama.
•÷•
Ayara menatap langit-langit kamarnya, ia melirik Edgar yang sudah tidur dengan nyenyak. Mengapa ia tidak bisa tidur sekarang?, padahal besok ia harus berangkat ke bandara untuk pergi ke kota yang ia tuju.
"Melbourne..", guman Ayara dengan senyum, ia membayangkan betapa indahnya kota itu, ia tersadar dengan janjinya kepada Lea.
"Astaga!", Ayara menepuk keningnya, "Besokan Lea berangkat, aduh..gue juga harus berangkat lagi", gumamnya.
"Lea kebandara jam berapa ya?", tanyanya pada diri sendiri, Ayara merubah posisinya menjadi duduk dan bersandar pada headboar.
Menaut handphone yang tergeletak diatas nakas, lock screen nya menampilkan jam digital yang sudah pukul 02:27, "Aduh, jam segini Lea udah dialam mimpi", ucapnya saat hendak menanyakan jam berapa Lea akan berangkat.
Ayara kembali meletakkan handphonenya dan merebahkan tubuhnya, "Mending tidur deh, dari pada besok kesiangan", ujarnya.
Ayara menarik selimut dan tidur dengan posisi miring kearah Edgar, tangannya memeluk erat tubuh kekar suaminya sehingga terasa hangat.
Matanya mulai terpejam dan siap masuk ke alam mimpi untuk menyambut hari yang ditunggu oleh Ayara esok, ia akan pergi berlibur, at the same time honey moon.