•
•
•
“Hayo ngelamun.” Shaka tiba-tiba saja menampakkan wajahnya di hadapan Naira.“ASTAGFIRULLAH.”
Shaka terkekeh pelan. “Kenapa sih?”
“Ngagetin aja, ih.” Naira saat ini tengah duduk di dekat jendela kamar. Sembari menikmati sepoi-sepoi angin dan bau tanah dari hujan yang baru saja turun.
“Kenapa, kamu ngelamun?” Shaka kembali bertanya.
“Enggak, siapa yang ngelamun.”
“Masa?”
“He em.” Naira tiba-tiba termenung. “Aku mau nanya deh sama kamu.”
“Boleh, tapi sambil tiduran boleh gak?”
Naira mengerti, bahwa Shaka seharian ini pasti sangat lelah. Ralat, mungkin setiap hari.
Naira pun menutup jendela kamar, karena melihat Shaka yang juga sepertinya kedinginan.
“Sini.” Shaka menepuk lengan kirinya yang sudah terlentang. Naira pun menidurkan dirinya.
“Sini, deketan lagi. Aku dingin.”
“Dingin tinggal di selimut aja kali.” Naira menjawab.
“Gak ah, kalo sama kamu aku bisa peluk.”
“Peluk, tinggal peluk guling aja.”
Shaka menyentuh hidung Naira. “Ngejawab muluuu.”
Naira kembali termenung. “Aku mau nanya.”
“Iya, nanya, nanya aja,” ujar Shaka yang menyamankan posisinya, sembari mendekap erat tubuh Naira, sedangkan matanya ia pejamkan.
“Alesan kamu suka sama aku tuh, apa sih?”
Pertanyaan Naira membuat Shaka membuka kembali matanya. Ia seketika tertawa kecil. “Kamu, udah aku nikahin, baru nanya itu?”
Ada jeda sebelum Naira kembali menjawab. “Ya abisnya aku malu kalo nanya waktu itu.”
Shaka kini memposisikan tubuhnya dengan cara telentang. “Justru karena waktu itu kita lagi ta’aruf, harusnya kamu nanya itu. Karena itu yang jadi dasarnya buat kita yakin satu sama lain. Kalo seandainya aku udah nikahin kamu, terus ternyata kamu hanya buat aku perbudak, aku siksa, aku seling—“
“Jadi kamu mau kayak gitu?” sela perempuan itu.
“Aku kan bilang ‘kalo seandainya’.”
“Tapi kamu gak niat kayak gitu kan?”
“Ya engga dong sayang.” Shaka kembali mendekap perempuannya.
“Kamu mau tahu, alesan aku suka sama kamu kenapa?”
“He em, kenapa?”
“Jadi , dulu tuh." Shaka mengambil napas sejenak, sebelum melanjutkan cerita panjangnya. "Waktu aku masih kelas sebelas, aku lagi di rumah waktu itu. Duduk di balkon, lagi ngerjain tugas sekolah juga. Terus, tiba-tiba aku denger banyak suara berisik gitu, dan kayaknya emang dari arah rumah kamu. Ternyata bener, disitu ada badut yang lagi nyungsep ke got yang deket rumah kamu, dan yang paling aku inget, diantara semua temen-temen kamu yang pada lari juga teriak-teriak karena ketakutan, sementara kamu ulurin tangan buat badut yang butuh pertolongan itu. Eh, kamu nya malah ikut nyebur ke got. Aku awalnya ketawa-ketawa sendiri waktu itu. Apalagi, itu pas aku baru liat kamu lagi, setelah sekian lama. Dan entah kenapa yang membuat aku terbungkam lagi adalah, liat kamu yang malah minta maaf berkali-kali ke badut itu. Dari situ deh, awalnya. Ya, emang sih aku sempet mikir kalo yang aku rasain cuman cinta monyet karena waktu itu aku juga masih SMA. Tapi, entah kenapa kamu sering muncul di mimpi aku, dan alhasil aku juga sering nyebut nama kamu di setiap do’a sepertiga malam. Tapi karena aku rasa itu salah, jadi aku hentiin aja. Sampai akhirnya aku cuman minta dikasih jodoh yang terbaik menurut Allah aja.
Terus kebetulan, waktu aku lagi pulang ke rumah lagi, aku nemu surat yang tiba-tiba terbang entah darimana. Waktu itu, kalo gak salah aku masih jadi maba. Surat itu pas banget ke muka aku, karena warna kertas nya menarik, aku ambil aja. Eh ternyata ada isinya, isinya tuh—“Naira mendadak mendudukan tubuhnya. “Jangan bilang, surat yang aku jadiin pesawat kertas?”
“Iya itu. Warnanya kuning keemasan, karena aku jarang liat warna kertas kayak gitu, jadi aku ambil, gak sengaja ke baca.”
Isinya kurang lebih seperti ini. Ya Allah, kalo ada duplikat dari kak Shaka, aku mau yang seperti itu, Ya Allah. Naira pengen punya jodoh yang juga bisa berjuang bersama nantinya buat ke jalan Allah. Naira pengen punya jodoh yang gak hanya membimbing urusan dunia, tapi juga akhirat. Tolong kasih Ya Allah, kalo ada duplikat kayak kak Shaka. Karena kalo kak Shaka langsung kayaknya gak mungkin, masa tetangga sendiri? Ya kan?
Waktu itu, Naira memang sedang gabut saja, kebetulan ia sedang mendengar desas-desus dari warga sekitar, yang sesekali pasti menceritakan sosok Shaka yang sholeh, bahkan sampai disebut ‘penerus generasi emas.’
Kebetulannya lagi , Naira menangkap sosok Shaka, yang saat itu tengah menggunakan setelan koko, berjalan keluar dari rumah, entah akan ke mana. Hanya sekali itu saja dirinya melihat Shaka, itupun dari jendela kamarnya. Laki-laki sholeh memang selalu menjadi idamannya, walaupun bukan berarti Naira ingin cepat-cepat menikah.
Lalu saat itu, akhirnya Naira iseng menulis surat nya dan membentuk surat itu menjadi pesawat kertas. Naira menerbangkannya dengan mengerahkan seluruh tenaga, berharap surat itu bisa sampai ke langit.
Naira saat ini tengah menutup wajah dengan kedua tangannya, mengingat kelakuan dirinya yang terlihat sangat bodoh kala itu. “U-udah, jangan dilanjutin ceritanya,” ucap Naira, yang saat ini menyenderkan punggungnya ke tembok.
“Dengerin dulu, justru berkat dari surat itu, Allah seperti ngasih petunjuk, meyakinkan keraguan aku, kalo kamu emang pantas aku perjuangin di sepertiga malam. Gak hanya itu, aku mulai kembali termotivasi menaikkan promosi kedai kopi yang waktu itu masih sepi banget, karena mau punya penghasilan yang cukup, buat meminang kamu nantinya. Ya walaupun aku gak berharap lebih, kalo semisal kamu bukan jodoh aku. Setidaknya aku usahain semampu yang aku bisa. Dan dengan rezeki dari Allah, alhamdulillah bisnis yang aku jalanin lancar, sampai akhirnya aku investasiin semua tabunganku. Dan dengan takdir yang udah Allah tentuin, waktu itu abi nyuruh aku buat berhenti dari pesantren dan jadi guru ngaji di masjid Al-ihsan. Sampai akhirnya aku ketemu kamu lagi.”
Naira begitu terkesan mendengar kisah yang lebih terbayang seperti cerita sebuah cerpen atau novel romansa.
Ternyata Shaka memang laki-laki yang Allah takdirkan untuknya.
“Masya Allah ya, ternyata rencana Allah emang selalu lebih indah,” tutur Naira.
“Iya, aku juga masih gak nyangka. Kesabaran aku ternyata membuahkan hasil juga. Ternyata betul kan, kalo Allah gak pernah ngecewain hambanya?” Shaka ikut duduk kini, dan menyematkan rambut Naira ke belakang telinga perempuan itu.
“Iya.”
Lagi-lagi keduanya saling bertatapan, tapi kali ini cukup lama. Kamar tidur pun gelap gulita karena Shaka mematikan lampu tidurnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Jawaban Naira
Fiksi PenggemarApa jadinya jika jodohmu adalah tetangga sendiri? Naira Fatimah Khanza, seorang perempuan yang lebih sering menghabiskan waktunya di kamar seorang diri. Tiba-tiba, dipertemukan kembali dengan laki-laki yang menjadi teman semasa kecilnya. Dipta Sh...