When time matures

1.2K 230 60
                                    

32| when time matures
.


.
.
.
.
.
.



2 tahun kemudian.

Aku tahu ada bagian dari kehidupan yang rasanya berjalan begitu cepat, seperti bagaimana kereta melintas di relnya. Jalan kehidupan yang rasanya begitu saja terlewat tanpa bisa aku raba setiap sintesisnya, setiap aspek-aspek kecil yang dapat merubahku. Aku terlalu menikmati waktu, membiarkan detik demi detik melahapku pada kesibukan dan membiarkanku tenggelam pada sesuatu yang baru.

Dua tahun, kurasa terlalu cepat sehingga tak sadar kini aku menjajaki kelas tiga SMA. Seperti baru kemarin aku menjadi murid yang asik dijadikan bahan amukan senior, melewati fase-fase sulitnya beradaptasi di sekolah elit, bertengkar dengan Sakura perihal menjadi murid teladan dan baik, lalu berusaha kembali mendekati Neji.

Ah... Satu lagi, pertemuanku dengan Naruto Uzumaki.

Kupikir, perjalanan pendidikanku akan penuh dengan kompetisi yang menguras banyak waktuku untuk belajar dan saling menyikut dengan sengit. Namun Naruto memberikan sedikit bumbu untuk perjalanan kisah monotonku dengan kisah jatuh cintanya yang pertama, dan lelaki itu labuhkan hatinya padaku. Segala tingkahnya yang rasa-rasanya, begitu alami ia tunjukkan padaku. Hal-hal biasa yang terjadi dihidupku, ia anggap sebagai hal-hal baru yang luar biasa baginya.

Namun, cintanya yang sederhana ternyata membawaku pada kehidupannya yang kompleks. Aku mengira, ia hanya salah satu anak terkaya  di sekolah yang mungkin punya banyak andil untuk menggerakan sesuatu sesuai keinginannya, anak yang begitu mengandalkan nama orangtuanya, atau klan-nya atau saja, Neneknya.

Tapi, kata Ibunya, Naruto sejak dulu menghindar untuk di kenal sebagai bagian dari klan Senju, atau Uzumaki, atau Namikaze. Terlalu banyak klan yang ingin mengklaim dirinya sebagai bagian dari mereka. Sedangkan Naruto sendiri tidak menginginkan hal itu, anak lelaki itu bosan dengan kehidupan serba mudah yang bisa ia genggam hanya dengan ucapan sepatah-katanya.

Kisah cintaku gagal total. Aku merasa menyesal terlalu terbuai dengan garis tengah, berdiri diantara iya dan tidak. Menjadi si pemilik tali yang lebih menyukai tarik ulur, membiarkan orang-orang memperjuangkan aku. Tanpa pernah memikirkan bagaimana mereka berusaha memberikan kenyamanan untukku.

Sekarang, kisahku selesai begitu saja tanpa pernah dimulai. Kini, aku hanya bisa memandangi punggung Naruto dari kejauhan, membiarkan lelaki itu semakin bersinar, menebar senyum kebaikan dan sikap ramah-tamahnya. Naruto menjadi yang paling populer sebagai si peraih apa saja, dia memiliki lingkaran jeniusnya sendiri tanpa terjebak di klub menulis yang selalu menunggunya untuk kembali mengisi.

Ah sial, aku menangis lagi. Bagian paling sulit dari kehidupan yang aku jalani adalah, melupakan jika Naruto pernah begitu menyukaiku. Tetapi, satu kepingan tentang diriku saja tak ia ingat sedikitpun, mata biru Naruto tak lagi menjadi mata Naruto yang dulu.

Yang memandangku begitu lembut seperti samudra yang separuhnya menyetubuhi bumi.

Naruto, tidakkah, sekali saja, kau mengingatku sebagai bagian dari perjalananmu?

"Hinata."

Hinata tersentak dan mengusap pipinya yang lagi-lagi basah oleh air mata, ia menoleh ke sumber suara dan menemukan Sakura bersandar di pillar sekolah seraya memandangnya sendu.

"Ya?"

"Kau ada rapat klub kan?" Sakura bertanya, Hinata kontan membereskan buku catatannya dan menutup catatan hariannya. Ia mengangguk lalu berdiri dengan gusar.

Literacy Club [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang