44 | The Assault [Part 2]

417 127 31
                                    

Ketika memasuki kamar, kedua mata Tadashi membola menyaksikan pemandangan mengenaskan di hadapannya, begitu pula Robert dan Evelyn

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Ketika memasuki kamar, kedua mata Tadashi membola menyaksikan pemandangan mengenaskan di hadapannya, begitu pula Robert dan Evelyn. Banyak pecahan beling dan benda-benda kecil berserakan di lantai, seperti kursi, jam weker, serta buku-buku tebal dengan jilid hard cover milik sang kakek. Kamar Dakota benar-benar kacau, seperti ada seseorang yang sengaja menghancurkannya.

Namun, bukan itu yang menjadi fokus Tadashi, melainkan sang kakek yang tergeletak begitu saja di lantai dengan kapak tomahawk di genggamannya, begitu pula sang ayah yang meringkuk di sampingnya. Di dekat pintu, Kagumi mematung dalam posisi bersila, kedua matanya terpejam. Katana-nya tertancap di lantai.

"Oh, no ...," lirih Tadashi dengan kedua kaki yang bergetar hebat.

Tanpa berpikir lagi, Tadashi menjatuhkan pemukul bisbol begitu saja di lantai, kemudian berlari dan berlutut di hadapan sang ibu yang sedang duduk bersila di lantai. Kedua tangan dan dahinya bertumpu pada katana yang menancap di lantai. Kedua mata wanita itu terpejam. Pemuda itu mengguncang tubuh Kagumi beberapa kali, tetapi tidak ada respons.

"Mom? Mom?" ucap Tadashi panik sambil mengguncang tubuh Kagumi.

Robert dan Evelyn melakukan hal yang sama. Mereka berlari kecil ke arah Dakota dan Andrian, berhati-hati menghindari pecahan kaca di lantai. Keduanya berlutut, berusaha membangunkan dua pria itu.

"Dakota? Andrian?" Robert mengguncang tubuh mereka.

"Oh no ... apa yang sebenarnya terjadi?" ucap Evelyn sama paniknya.

"I'm not sure," cicit Tadashi, masih mengguncang tubuh sang ibu. "Ini kedua kalinya rumahku diserang."

"Apakah ini semua ulah Wendigo?" tanya Evelyn.

"I don't know, okay?" Tadashi meninggikan suaranya, membuat Robert dan Evelyn terkejut. Namun, keduanya tidak membalas lagi. Mereka paham pemuda itu sedang kalut.

Robert menoleh ke arah Tadashi, kemudian berseru, "Hei, Tadashi! Cek denyut nadinya!"

Tadashi buru-buru meletakkan jari tengah dan telunjuknya di pergelangan tangan Kagumi, rupanya masih ada denyut nadi. Pemuda berambut hitam itu mendaratkan bokongnya di lantai dan mengembuskan napas lega, lalu menyentuh dadanya yang berdebar begitu hebat. Segala kekhawatiran yang berkecamuk di benaknya berkurang sedikit demi sedikit.

"Masih ada denyut nadi. Ibuku masih hidup," ucap Tadashi pada dua remaja itu.

"Yeah, begitu pula dengan kakek dan ayahmu," balas Robert setelah mengecek denyut nadi di pergelangan tangan Dakota dan Andrian.

"Mereka seperti tertidur ... tetapi napas mereka lemah sekali," lirih Evelyn.

"Kita harus memindahkan tubuh mereka ke atas ranjang," ujar Tadashi.

Evelyn mengangguk. "Baringkan kakek dan ayahmu terlebih dulu, van Gogh."

Robert ikut mengangguk. Tadashi berlari kecil ke arah Dakota, kemudian menopang bagian atas tubuh sang kakek, dibantu Robert yang menopang kedua kaki pria tua berusia tujuh puluh tahunan itu. Dua remaja itu menggotongnya ke ranjang. Evelyn mengambil kapak tomahawk Dakota dan meletakkannya di atas ranjang, tepat di sebelah pemiliknya. Kemudian Robert dan Tadashi kembali melakukan hal yang sama pada Andrian.

Dream Walker [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang