Setelah makan malam, Tadashi bergegas kembali ke kamarnya, berharap sang kakek lupa pada rencananya dan membiarkan pemuda itu beristirahat dengan damai malam ini. Tadashi duduk di meja belajar dan berkutat dengan laptop, mengerjakan tugas-tugas sekolahnya sambil mempersiapkan berkas pendaftaran mahasiswa baru Yale University.
Ia merentangkan kedua tangannya ke atas sambil menguap, kemudian melirik jam kecil yang tertera pada layar laptop. Tidak terasa waktu menunjukkan pukul sepuluh kurang lima menit dan Dakota tidak kunjung menampakkan batang hidungnya.
"Yeah, kurasa Grandpa melupakannya. Kalau begitu, aku akan tidur saja," ucapnya tanpa rasa bersalah.
Tadashi mengulas senyum penuh kemenangan, kemudian mematikan laptop dan merapikan buku-bukunya. Ia beranjak dari meja belajarnya dan melangkah menuju kamar mandi. Setelah menyikat gigi, mencuci wajah serta kaki, pemuda beretnik asia-kaukasia itu menggerakan tungkainya menuju ranjang dan menjatuhkan diri di atas sana.
Ketika tubuhnya sudah ditutupi selimut tebal, ia memejamkan mata, senyumnya tidak kunjung pudar sejak tadi. Ia menghela napas dalam-dalam, kemudian mengembuskannya lewat mulut, menikmati ketenangan yang dimilikinya malam ini. Setelah beraktivitas di sekolah dan belajar ekstra keras untuk ujian akhir, dirinya pantas mendapatkan tidur yang berkualitas tanpa dibayang-bayangi takdirnya sebagai seorang dream walker.
Menit demi menit berlalu, Tadashi tidak kunjung terlelap. Mungkin tubuhnya memang butuh istirahat, tetapi pemuda itu tidak merasakan kantuk sama sekali. Ia membuka kembali kedua netranya dan menatap dream catcher berwarna biru-hitam yang digantung di bedhead kamarnya. Pikirannya melayang, dirinya teringat perkataan sang kakek ketika menggantungkan benda itu di sana.
"Mulai saat ini, kau harus berani melawan mimpi-mimpi buruk itu. Jangan khawatir, benda ini akan menjagamu."
Di tengah lamunan, mimpi buruknya minggu lalu kembali berputar di otaknya. Sosok makhluk pemakan manusia dengan tubuh ceking berkepala rusa itu berhasil membuatnya bergidik ngeri. Jeritan Evelyn juga masih terdengar jelas di otaknya ketika Wendigo menyeret tubuh gadis itu.
Tadashi menyibakkan selimut tebalnya dan duduk tegak di atas ranjang. Bagaimana ia bisa pergi dari mimpi buruknya jika pemuda itu tidak tahu bagaimana cara mengendalikan diri? Jika pikirannya kembali kalut, ia bisa saja menarik Evelyn ke dalam mimpinya lagi. Tidak hanya Evelyn, mungkin Robert dan kedua orang tuanya pun bisa berada di posisi yang sama bahayanya.
"Ah, sial!" umpatnya pelan. Pada akhirnya, Tadashi mengabaikan rasa malas dan lelah di tubuhnya, lalu turun dari ranjang dan keluar dari kamar. Pemuda itu melangkahkan kedua tungkainya menuruni anak-anak tangga, kemudian berbelok hingga sampai di depan kamar kakeknya dan mengetuk pintu pelan.
"Grandpa?" panggilnya. Namun, tidak ada jawaban dari pria tua berusia tujuh puluh tahun itu.
Di luar dugaan, justru rasa penasaran Tadashi kian membuncah. Ia membuka pintu dan mengintip melalui celah kecil. Sejauh mata memandang, tidak ada sosok sang kakek di atas ranjang. Pemuda itu membuka daun pintu lebih lebar lagi dan melihat presensi Dakota di salah satu sudut kamar. Pria tua itu sedang duduk bersila di atas karpet. Kedua tangannya diletakkan di paha dengan posisi rileks, kedua netranya terpejam. Samar-samar, ia melihat kepulan asap di sekitar tubuh Dakota. Kedua alis Tadashi bertaut. Untuk apa kakeknya bermeditasi selarut ini?
KAMU SEDANG MEMBACA
Dream Walker [END]
Fantasy🏆 The Wattys Winner 2022 (Wild Card) 🏆 Wattpad Ambassadors ID's Pick 2024 🏆 Reading List WIA Indonesia Periode 3 Konon, seorang dream walker hanya terlahir satu di setiap generasi. Selama ini, Tadashi Reyes menyangka kemampuannya yang langka ada...