Bab 2

44.9K 3.7K 69
                                    

Cahaya matahari bertambah terik ketika Taeyong keluar dari toko roti, ini adalah tempat terakhir yang ia kunjungi dan hasilnya pun tetap sama. Tak ada toko yang membutuhkan tenaga kerja, dengan kaki gemetaran ia berjalan menuju taman, duduk di sebuah kursi yang terletak di bawah pohon rindang. Taeyong meminum air yang sempat ia beli dan mengusap keringat yang memenuhi wajahnya.

Rasanya sangat sia-sia mengingat dia yang membawa tas sandang berisi pakaian, jangankan pekerjaan tempat untuk sekedar ia tinggal saja tak juga didapatkan. Ternyata kehidupan di kota besar lebih parah daripada yang ia bayangkan sebelumnya.

Suara tangisan balita membuat ia menunduk, Taeyong melihat sang anak yang menangis sembari mengusapkan wajah pada dada sang Ibu.

"Bubu~"

"Apa Mark lapar sayang?" tanya Taeyong lembut. Dia membuka kain yang sejak tadi menjadi pelindung tubuh Mark dari cahaya matahari. Lelaki mungil itu melihat sekitaran yang sepi, dia membuka kemeja yang di pakai, membiarkan Mark masuk dan meminum susunya. Tak lupa membuka dua kancing teratas agar sang anak masih bisa bernapas.

Dia merasa kasihan dengan hidupnya sendiri, bersedih melihat Mark yang hidup susah bersamanya. Tapi akan lebih tidak baik lagi jika Taeyong menggugurkan Mark saat itu, anaknya itu tidak salah, walaupun semuanya terjadi karena dirinya di jebak akan tetapi yang membuat Mark ada tetaplah karena Taeyong dan laki-laki itu.

Menghela napas panjang dan kembali meminum airnya, Taeyong memperbaiki posisi Mark yang sudah tertidur lagi. Wajah anaknya tampak tenang.

"Maafkan Bubu, sayang."

Bruk!

Lelaki mungil itu terkejut dan memandang sekitar, dia melihat seorang laki-laki yang terjatuh pingsan. Suasana taman yang sepi membuat Taeyong tanpa pikir panjang berlari ke sana, berjongkok dengan hati-hati mengingat bahwa masih ada Mark di dalam gendongan nya.

"Tuan?" panggilnya, namun tak ada jawaban apapun. Taeyong melihat ponsel yang jatuh dari saku baju yang dipakai lelaki tersebut, dengan sedikit lancang ia mengambilnya dan mencari kontak seseorang yang bisa dihubungi.

"Halo?"

******

Di sinilah Taeyong sekarang. Duduk berhadapan dengan dua orang laki-laki yang mengatakan kalau mereka suami istri, mereka berdua adalah Jung Yunho dan Jung Jaejoong. Salah satu dari mereka atau yang terlihat lebih feminim dan cantik tersenyum lembut padanya.

"Terima kasih karena sudah menolongku, aku berhutang padamu."

Dengan cepat Taeyong mengangguk kan kepala, dia menggerakkan tangan beraturan mendengar kalimat terakhir Jaejoong.

"Siapa namamu manis dan apakah itu anakmu?"

Taeyong melihat sang anak yang masih tertidur lelap di dalam gendongannya, "Namaku Lee Taeyong Nyonya, dan ini Lee Minhyung atau biasa ku panggil Mark dia adalah anakku."

Jaejoong tampak tersenyum, berjalan mendekati Taeyong untuk melihat lebih dekat wajah sang balita, bahkan ia mengabaikan rasa pusing yang masih mendera kepalanya.

"Putramu sangat tampan, apa kau seorang male pregnant?"

"Y-ya, Nyonya. Bagaimana anda bisa tahu tentang itu?" Tanya Taeyong meminta penjelasan.

Mendengar itu membuat Jaejoong tertawa geli, dia menepuk bahu lelaki mungil itu pelan dan berdecak. "Aku juga seorang male pregnant dan memiliki satu putra kalau kau ingin tahu. Lalu, apa yang kau lakukan di taman saat matahari terik begitu?"

"Aku berniat untuk istirahat, aku sengaja datang ke kota untuk mencari pekerjaan dan sudah seharian ini aku berkeliling untuk mencarinya, tapi tak ada yang membutuhkan tenaga kerja."

"Kau mencari pekerjaan, memangnya di mana suami dan keluargamu? Kenapa dia membiarkanmu membawa anak di dalam gendongan untuk bekerja bahkan berjalan di bawah terik matahari?!"

Terkesiap, lelaki mungil itu terkejut mendengar suara Jaejoong yang terkesan meminta penjelasan, lantas ia menundukkan kepala.

"Lee Taeyong?"

"Aku tidak punya suami. Dan sejak kecil aku tinggal di panti asuhan karena tidak memiliki orang tua, aku kabur dari sana karena pemilik panti yang suka memukul kami. Dan dalam perjalanan kabur aku bertemu dengan seorang wanita paruh baya, dia mengajakku untuk tinggal bersamanya. Nenek juga menyekolahkan ku, tapi satu hari setelah kelulusanku nenek meninggal."

Dua orang lelaki didepannya tampak terkejut mendengar penjelasan Taeyong.

"Lalu bagaimana dengan Mark?"

Taeyong menarik napas dan menghembuskannya, tangan mungil itu bergerak untuk mengusap punggung kecil sang anak. Memberikan sedikit tepukan dan tersenyum.

"Saat hari kelulusan SMA aku dijebak, dan menghabiskan malam dengan seseorang yang tak ku kenal, aku bahkan tak menyangka kesalahan malam itu akan membuat Mark lahir." Jujur saja ketika mengingat kembali kejadian tersebut membuat Taeyong sedih, tanpa di suruh air mata jatuh membasahi pipinya. "Maaf aku malah bercerita panjang lebar dan menangis," ucapnya tertawa konyol dengan tangan yang sibuk menghapus cairan asin di pipinya.

Jaejoong menggelengkan kepala dan memeluk tubuh ringkih Taeyong penuh sayang, lelaki yang lebih tua itu tak menyangka kalau hidup Taeyong berjalan seperti ini, dia menyesal sudah bertanya karena itu bisa saja membuka kembali luka yang berusaha Taeyong tutupi.

Dia menatap manik bulat itu lembut dan menepuk bahu Taeyong pelan, "Kau hebat Taeyong, kau hebat karena sudah berjuang dan bertahan sejauh ini. Tidak seharusnya aku bertanya seperti itu tadi."

"Tidak apa-apa Nyonya. Jangan menyalahkan diri anda sendiri."

Mereka kembali berpelukan, membiarkan tangisan Taeyong mereda.

Jaejoong menatap penuh iba pada sosok di depannya. Jaejoong menoleh ke arah sang suami kemudian mengedipkan mata. Sedangkan yang di beri kode tampak tak paham sedikit pun, membuat Jaejoong harus kembali mendekati sang suami dan memukul kepalanya. Suara ringisan terdengar dan dengan cepat Jaejoong berbisik pada sang suami.

Taeyong meneguk ludah kasar ketika dua orang di depannya menatap dalam, dia berpikir apa ia melakukan kesalahan?

"Jadi, kedatangan mu ke kota besar untuk mencari pekerjaan serta tempat tinggal baru?" Tanya nya melirik ke arah tas sandang yang terletak di dekat kaki Taeyong.

"Karena aku merasa berhutang padamu bagaimana jika kau bekerja di sini saja? Mengurus mansion ini bersamaku, kau tenang saja aku akan memberikan gaji pastinya. Karena jika aku memberikan uang sebagai bentuk terima kasih ku maka kau tidak akan menerimanya begitu saja, kau mau?"

Taeyong mengernyit heran mendengar ucapan Jaejoong. Jika ia menerima maka dia akan mendapatkan pekerjaan, tapi dimana ia akan tinggal, tidak mungkin Jaejoong berbaik hati mencarikan ia rumah juga kan?

Lelaki paruh baya yang bernama Yunho berdehem, dia menatap Taeyong yang tampak berpikir keras. "Terima saja tawaran Jaejoong, dia tidak akan berhenti bertanya jika kau tidak menjawab ataupun menolaknya sekalipun."

"Benar sekali. Walaupun selama ini aku tak pernah memperkerjakan seseorang di mansion, tapi ini pengecualian untukmu, aku merasa beruntung jika kau menerima nya Tae. Lagipula aku masih harus banyak istirahat dan pastinya tidak bisa mengurus rumah sendirian."

Taeyong menghela napas, "Baiklah Nyonya aku akan menerima tawaran ini, terima kasih karena sudah memberikan aku pekerjaan."

"Bagus. Selain mendapat teman mengobrol di rumah, aku juga mendapatkan seorang cucu yang tampan! Bahagia sekali karena rumah ini tidak akan sepi lagi!" Jaejoong berkata dengan semangat.

"Tapi bisakah anda membiarkan saya mencari tempat tinggal yang dekat dari sini dulu, Nyonya?" tanya lelaki mungil itu yang langsung di hadiahi tawa oleh Jaejoong.

Lelaki yang lebih tua bersidekap dada dan memandang pada Taeyong. "Kamu tidak usah melakukan itu, pindahkan saja semua barang yang kau bawa hari ini menuju kamar itu." Tangannya menunjuk pada pintu bercat putih yang tak jauh dari tempat mereka duduk.

"A-apa?"

Yunho menggelengkan kepala dan membatin di dalam hati, "istriku dengan segala kemauannya."









******

Tbc.

Mistake [✓]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang