Epilog

808 134 7
                                    

________

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

________

Upacara pemakaman hanya dihadiri oleh segelintir orang. Takahiro, beberapa anggota kepolisian, guru UA,  dan siswa kelas A.

Kabar kematian dari salah seorang siswa UA, Tsugumi Ranka, menjadi pukulan besar bagi para pahlawan dan masyarakat luas.

Para wartawan dan masyarakat yang melihat insiden beberapa hari lalu, menunjukkan rasa bela sungkawa dengan meletakkan karangan bunga di depan gedung UA.

Wajah semua siswa dan guru tampak begitu suram. Mereka tahu kalau Ranka adalah pengkhianat, tapi tak bisa dipungkiri kalau gadis itu juga ikut membantu dalam operasi penangkapan All for One.

Walau terasa  janggal, dimana mayat All for One hilang tak bersisa. Tubuh Ranka pun saat itu ditemukan dalam keadaan mengenaskan. All Might menangis tanpa henti dan menolak bertemu siapa pun selama dua hari.

Jiro, Ashido, Yaoyorozu, dan yang lain tak kuasa menahan tangis. Di hadapan foto Ranka yang terpajang di tengah halaman, All Might dengan keadaan penuh perban meletakkan bunga krisan putih dengan derai air mata.

"Maafkan aku, nak.. kau menderita sendirian di dunia seluas ini.. dan aku.. aku tidak bisa menolongmu saat itu."

Pria itu kemudian bangun di bantu oleh Tsukauchi. Menghampiri Bakugo dan menepuk pundaknya pelan. Beberapa lembar uang yang diberikan Ranka akhirnya ia berikan pada Bakugo.

"Ini dari Tsugumi-shoujo, dia bilang kau perlu membeli beberapa ramen lagi," ujar All Might dengan senyum sendu.

Mata Bakugo yang sebelumnya tampak mati langsung melebar mendengar ucapan itu. Tak ingin terlihat lemah, dirinya langsung menunduk untuk menyembunyikan air mata.

Todoroki menatap foto Ranka dari kejauhan. Padahal dia baru saja menemukan tujuan hidupnya, tapi tujuan itu malah pergi begitu cepat. 'Takdir itu.. memang suka mempermainkan, ya.' Pikirnya terkekeh pelah.

Dia mendongak menatap kawanan burung di langit. Angin berhembus menerbangkan rambutnya. "Selamat jalan," ujarnya melempar bunga krisan putih ke atas. Membiarkannya terbang terbawa angin dengan bebas.

"Semoga jiwamu tenang disana."









"Baka~" dengusan malas terdengar di ruangan gelap itu. Layar komputer di berbagai sisi membuat sosok disana tampak menyipitkan mata.

"Kau ini benar-benar tak punya hati, ya. Sampai tega membodohi mereka begitu.." Dirinya berbalik dan menatap punggung gadis bersurai putih di depan sana.

"Orina."

Gadis itu berbalik, mata pirus menjadi pesona tersendiri darinya. Ada kilat antusias walau tak terlalu nampak. Jelas sekali kalau dirinya tengah senang saat ini.

"Mereka tak lebih dari alat untuk mencapai tujuanku. Hh, lagi pula sejak kapan kau peduli dengan orang lain, Rich?" Ujar gadis itu acuh.

Si pria mendengus kecil. "Aku? Peduli? Kau pasti sedang bermimpi."

Orina meletakkan kopi hitamnya ke meja, lalu berjalan mendekat ke dinding kaca yang menampakkan tubuh seorang pemuda dengan surai hitamnya.

Dia tak lagi bernapas, jantungnya tak lagi berdetak, tapi tubuhnya masih utuh dan segar. Dia...

"Lama tak jumpa... Oscar. Sebentar lagi, kita akan bertemu. Kembali lah.. ayo hidup bersama dan mulai semuanya dari awal."

Mata gadis itu berpindah ke brankar di sebelah Oscar. Tubuh sang penjahat legendaris All for One yang tak sadarkan diri terbaring disana. "Senang bertemu denganmu juga, All for One. Setidaknya berguna lah untukku di akhir hidupmu ini."

Rich memandang Orina dengan tatapan yang tak bisa diartikan. Dia mengerti seberapa frustasi gadis itu setelah kepergian Oscar. Orina bahkan rela melakukan hal tabu hanya untuk menghidupkan pemuda itu kembali.

Rich menghela napas lelah, lalu menekan tombol di keyboard-nya. "Bagaimana Pour? Kau sudah siap?"

"Kapan pun, aku siap!" Terdengar suara energik dari seberang. Seorang wanita berjas putih di antara Oscar dan All for One melambaikan tangan.

Orina mengambil tempat di tabung khusus di tengah ruangan. "Mulai prosesnya," titahnya dingin.

Rich memasang headphone dan mulai bersiap di tempat. Jemarinya bergerak lihai di atas keyboard, mulai membuka satu-persatu sistem yang diperlukan.

"Oke, semua sistem aktif."

Orina dan Pour telah mengaktifkan quirk. Orina siap mentransfer semua energinya, sedangkan Pour siap memanggil jiwa Oscar untuk dimasukkan ke dalam tubuh yang asli. Sungguh kemampuan yang langka...

"Proses transmutasi.. dimulai."

Klik!

walau tak semua bisa berjalan lancar.

_______


Krip.. krip...

Orina membuka matanya perlahan. Sungguh aneh, yang didapatinya bukan langit-langit laboratorium atau rumah sakit. Ini.. langit sungguhan?!

"Sudah bangun?"

Spontan kepalanya menoleh ke samping. Betapa terkejutnya dia melihat tubuh Oscar tengah duduk di sampingnya. Orina langsung bangun dari posisi dan terdiam cukup lama.

Oscar yang melihatnya terkekeh pelan sebelum berubah menjadi sebuah tawa. Tawa indah, khas Oscar. "Ya ampun, ada apa dengan wajahmu! Ini aku.. Oscar, hi hi."

Ya, dia benar-benar Oscar.

Tak menunggu lama, Orina langsung menerjang tubuh kecil itu. Mereka terbaring di rumput, saling memeluk menyalurkan rasa rindu.

"Heh, kau berniat membodohi temanmu dengan pura-pura mati, tapi kau sendiri malah mati sungguhan. Payah sekali, ha ha ha," cetus Oscar mengejek.

"Aku.. mati?"

Keduanya duduk dengan tenang. Oscar mengangguk, "Ya.. kita sudah mati, Rin. Aku sudah mati.. aku tidak bisa hidup di dunia lagi."

"Tapi.. tubuhmu--"

"Hanya tubuhku," tatapannya berubah serius. "Terima lah, itu kenyataannya. Lupakan dunia, ayo kita mulai hidup baru disini," ujarnya lembut.

Orina menunduk dengan wajah suram. "Tidak bisa.. aku.. haah... sudah terlalu banyak dosa. Aku tidak.. bisa.. sudah banyak.. hahh.. banyak yang kuperbuat."

Oscar memeluk tubuh gadis itu. "Tidak apa-apa. Lagi pula kau dan aku sudah berjanji, kan? Ayo, hidup bersama!" Dia mengusap wajah Orina dan tersenyum lebar.

"Mulai sekarang kau tidak perlu menanggung semuanya sendiri. Aku sudah ada, bergantunglah padaku. Ayo hidup bahagia disini bersama denganku. Maukah.. kau?" Ujar Oscar agak ragu di kalimat terakhir.

Orina termangu, tapi sedetik kemudian memukul kepala pemuda itu keras dan tertawa kencang. "Apa-apaan dialog romantis itu? Haaah, ya sudah kalau begitu. Ayo!"

Orina berdiri dan mengulurkan tangannya. "Aku mau," ujarnya tersenyum lebar. Oscar meraih tangan itu dengan cepat dan ikut tersenyum lebar.

"Hei, Oscar. Apa kau tahu, aku bertemu banyak orang aneh sebelum datang kemari. Ada yang suka meledak seperti kembang api, ada yang seperti brokoli, dan..."

"Ya ampun, sejak kapan kau jadi OOC begini? Haahh..."

"OOC! Oscar-Orina Couple!"

"Oke, sepertinya otakmu tertinggal di Bumi, ayo kita kembali dan ambil lagi."

Tubuh mereka tak lagi berusia 16 tahun. Oscar menjadi pemuda yang tampan dan matang, juga Orina yang semakin cantik dan rupawan.

Walau begitu, tak ada yang berubah di antara keduanya. Mereka masih memiliki rasa dan ikatan yang sama.

Dan begitulah, akhir dari kisah mereka.

THE END

HUNTERTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang