38. She's Gone

1.2K 102 62
                                    



"Maafkan Papa Kavi. Tolong maafkan Papa.."

Ivan meminta maaf tak henti sembari menunduk setelah menyelesaikan ceritanya tentang kejadian bagaimana Naraya bisa berakhir menyedihkan di rumah sakit seperti ini. Tak mendapatkan respon apa-apa ia pun mendongak kembali menatap anaknya yang membeku seakan nyawanya sudah direnggut paksa meninggalkan badannya seorang diri.

Hancur.

Kavi benar-benar tidak berdaya. Setiap helaan nafas yang ia tarik terasa sangat menyakitkan di dadanya. Pandangannya kosong dan air matanya bahkan tak sanggup untuk keluar saking sedihnya apa yang sedang ia rasakan saat ini. Pikiran-pikiran menakutkan tak henti berputar di kepalanya semenjak bagaimana Hema tiba-tiba saja membawanya ke rumah sakit dan menyampaikan Naraya kritis disana. Laki-laki itu seperti tak tentu arah bahkan saat Ivan mengumamkan maaf berkali-kali pikirannya selalu tentang Naraya yang masih belum juga pulih dari masa kritisnya.

"Om biarin Kavi sendiri dulu, Om." Ucap Hema merangkul Ivan yang tak digubris oleh Kavi sedari tadi.

Ivan meneteskan lagi air matanya. Ia pun berdiri tegap dan menatap Hema dengan mata yang basah. Kemudian pria itu menepuk bahu Hema dua kali dan berkata lirih.

"Om titip Kavi. Tolong jaga Kavi. Om mohon sama kamu, Hema."

Hema tidak menjawab. Ia malah menganggukkan kepalanya lemah sebagai jawaban. Dan setelah itu Ivan menatap Kavi -yang masih berjongkok dihadapannya dengan pandangan lurus ke pintu ICU yang masih tertutup-sesaat sebelum benar-benar pergi menjauh meninggalkan ICU tersebut.

Hema menghela nafas panjang lalu menunduk menatap Kavi yang terlihat sangat teramat kacau. Laki-laki itu sedari tadi tas lepas memandang pintu ICU dan bergantian dengan tangannya yang terus menjambak setiap helai rambutnya kencang.

"Kav lo-"

"Hema!" Karina berlari menghampiri Hema yang disusul Jeno dari belakang. Nafas mereka terdengar ngos-ngosan hingga Hema yang semula ingin membuka obrolan dengan Kavi beralih menatap mereka. "Hem! Naraya giman-a. Kavi?"

Karina baru menyadari sosok Kavi saat ia menunduk. Gadis itu menatap Kavi lama dan dia tergugu karena tak satupun air mata yang mengalir membasahi pipi laki-laki itu padahal saat ini adalah momen yang tepat untuk itu. Tetapi, Kavi tidak melakukan itu disaat Karina sudah melakukan itu saat ia mendapatkan panggilan telpon dari Hema beberapa saat yang lalu. Tak lama, Karina mendongak lagi menatap Hema yang seperti mengatakan bahwa ia tidak tau harus bagaimana menghadapi Kavi. Laki-laki itu juga terlihat frustasi. Dan Jeno pun mengambil langkah untuk merangkul Hema dan mengelus punggung laki-laki itu pelan seakan menenangkan sahabatnya itu.

Karina mengigit bibirnya. Matanya kembali mulai berkaca-kaca dan perlahan ikut merunduk lalu memposisikan dirinya tepat dihadapan Kavi.

"K-kav, "Panggilnya bergumam dengan suara yang serak kepada Kavi. Laki-laki itu menoleh.

"Hai," Kavi tersenyum tipis, "Kita ketemu lagi."

Air mata Karina semakin menyesak minta dikeluarkan. Kavi seperti kehilangan akal sehatnya. Namun, itu bukan karena efek minuman beralkohol yang menyeruak dari setiap tubuhnya yang bisa Karina cium. Melainkan karena rasa sakit dihatinya akibat tidak bisa apa-apa disaat Naraya mempertaruhkan hidupnya di salah satu ruangan rumah sakit yang sangat menakutkan itu.

Tangan Karina pun terangkat untuk mengenggam punggung tangan Kavi yang berada diatas lipatan lutut laki-laki itu. "Percaya sama gue." Ucapnya membuat Kavi kembali fokus padanya, "Naraya pasti baik-baik aja. Dia selama ini cewe yang kuat. Dan gue yakin ini semua gak akan bikin dia lemah."

Kavi tersenyum lagi. Kali ini terlihat miris. Kemudian kepalanya menggeleng lemah, "Gue gak mau akhirnya gue malah kecewa karena gue percaya sama lo, Rin."

I OWE YOUTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang