Bab 24

8K 848 26
                                    

Kalya membuka pintu kamarnya dan membiarkan Radit masuk. Matanya masih berkaca saat melihat lebam samar yang masih terlihat di pipi Radit juga luka di bibirnya. Meski sepertinya pukulan Ryan tidak begitu fatal, namun rasa bersalah Kalya masih bersarang di dadanya.

Sejak awal, Kalya yang meminta hubungan mereka disembunyikan dulu dari teman-teman mereka. Kalya yang ingin diberi ruang untuk memikirkan Radit secara personal tanpa dipengaruhi pendapat teman-temannya. Sampai akhirnya saat dia sudah yakin, dia tidak akan memiliki keraguan lagi pada Radit. Dan itu memang terjadi. Meski sejak awal sudah membayangkan kehebohan dari teman-temannya, hal itu tidak mempengaruhi keyakinan Kalya untuk menerima Radit, termasuk masa lalunya.

Namun yang dia tidak perhitungkan adalah efeknya bagi Radit. Dia sudah menduga kalau Ryan akan menjadi yang paling bereaksi di antara yang lain, namun tidak mengira kalau Ryan sampai melukai Radit. Sejak lama, reaksi Ryan yang kadang berlebihan inilah yang dihindari Kalya. Sehingga, meskipun Kalya lebih dulu berteman dengan Ryan, Kalya sangat hati-hati jika bercerita dengannya. Kalya tahu, Ryan begitu karena kepeduliannya sebagai teman, namun kadang hal itu cukup mengganggunya. Kalya sudah cukup 'dipedulikan' banyak orang di keluarganya sejak kecil, jadi saat bisa memilih, dia tidak ingin diperlakukan seperti itu lagi.

"Masih sakit ya?" Kalya meraih wajah Radit untuk memperhatikan lebih dekat. Semalam, dia memang sama sekali tidak sempat mengobati Radit dan malah langsung menuruti Ryan untuk pergi dari sana. Dan setelah melihat dari dekat pagi ini, Kalya bersyukur lukanya tidak begitu parah.

"Sedikit. Nggak apa-apa, Sayang. Aku laki-laki, ini nggak seberapa." Radit mengeratkan pelukannya di pinggang Kalya sementara Kalya mengusap pipinya lembut.

"Maaf ya..."

"No, no, jangan minta maaf. Ini bukan salah kamu. Mungkin udah seharusnya aku dapetin ini sejak lama. Sejak aku suka main-main sama perempuan, suka seenaknya sama mereka. Ini bukan salah kamu, I deserve this."

Kalya menggeleng, "Aku udah nebak Ryan bakal bereaksi berlebihan, harusnya aku kasih tau lebih awal biar dia nggak sampe nyakitin kamu gini."

"Sayang, kadang cara komunikasi laki-laki ya kayak gini. Its totally okay. Aku nggak keberatan harus lewatin ini dulu buat bisa sama kamu."

Kalya menatap lurus mata Radit demi melihat kesungguhan disana, kemudian melingkarkan tangan untuk memeluk Radit yang tentu saja di balas sama eratnya disertai kecupan di kepalanya.

"I love you, Aya."

"I know." Kalya kemudian merenggangkan pelukannya dan kembali menatap luka Radit. "Udah dikasih obat belum sih ini?"

"Udah, tapi kalo kamu mau tambahin boleh."

"Emang bebas aja ngasihnya?" Setahu Kalya, setiap obat memiliki aturan pakainya masing-masing, termasuk obat oles yang sepertinya digunakan Radit di bibirnya.

"Kalo obat ini sih bebas aja, boleh kapan aja."

"Oke, kamu bawa obatnya? Dikasih habis sarapan aja kali ya, biar nggak luntur."

"Sekarang juga boleh, nggak akan luntur kok." kata Radit yang membuat Kalya mengernyit.

"Namanya apa sih obatnya?" Kalya penasaran, membuat satu tangan Radit beralih dari pinggang Kalya menuju bibirnya.

"Ini, your lips to kiss my wound."

Kalya refleks memukul dada Radit, membuat Radit terbahak dan menularkannya pada Kalya. Sepertinya ini menjadi tawa pertamanya sejak kemarin malam.

***

Kalya berjalan menuju ruangannya dengan wajah yang masih sedikit mendung. Meskipun kerja kerasnya mengompres mata semalaman membuahkan hasil, matanya tidak bengkak meski lama menangis, namun mood-nya belum sepenuhnya kembali. Apalagi mengingat dia harus duduk seharian di hadapan Ryan yang sudah membuatnya seperti ini.

Genggaman tangan Radit mengerat saat lift yang mereka tumpangi hampir sampai di lantai tiga. Ya, mereka tentu berangkat bersama setelah pagi tadi Radit menjemput Kalya di kosannya. Meski beberapa orang yang mengenal merasa aneh melihat genggaman tangan mereka ditambah memar samar di wajah Radit, namun Radit dan Kalya seolah tidak merasa terganggu. Mereka baru melepaskan tautan tangan mereka setelah keluar dari lift.

Setelah semalam mereka berbicara banyak di telepon, sepagi mungkin Radit sudah ada di kosan Kalya untuk kembali menenangkannya. Padahal, memar di pipinya sendiri masih belum sembuh benar. Namun Radit lebih memikirkan perasaan Kalya yang sepertinya cukup kacau. Karenanya Kalya juga sengaja membawa bekal untuk makan siang mereka berdua agar tidak perlu pergi kemana-mana.

Radit melemparkan senyumnya sebelum membiarkan Kalya memasuki ruangannya. Ternyata, di sana sudah ada Ryan yang duduk di kursinya dengan tatapan mengarah pada interaksi Kalya dan Radit. Kalya yang sudah berdiri di kubikelnya, membuang pandangan setelah bertatapan sepersekian detik dengan Ryan kemudian segera duduk.

"Selamat pagi." sapaan Meira memecah keheningan ruangan itu, yang dibalas oleh beberapa orang termasuk Kalya. "Sehat, Bu?" tanyanya setelah mencondongkan kursi ke arah Kalya.

"Sehat, Mei. Rekapan yang kemarin aku minta udah beres?"

"Astaga! Masih pagi ini, Kal. Belom juga gue touch up."

Kalya hanya membalas dengan gelengan. Sepertinya hari ini akan berjalan terlalu serius bagi Meira yang biasanya santai, mungkin juga untuk staf yang lain. Mau bagaimana lagi kalau dua orang supervisor di ruangannya sedang sama-sama dalam mood yang buruk. Ditambah lagi saat ponsel Kalya bergetar dan menampilkan pesan tidak biasa dari Naufal, sepupunya yang kemarin baru menikah.

Mas Naufal

Dek Aya, hari ini ada waktu? Mas sama Mbak Ina mau ketemu, bisa?

Me

Boleh, Mas. Pulang kantor Aya bisa.

Setelah mendapat balasan persetujuan dan informasi tempat bertemu, yaitu sebuah cafe kopi di dekat kantor Kalya, kepala Kalya mulai dipenuhi dugaan. Yang kebayakan mengarah ke hal buruk, meskipun sebenarnya dia tidak ingin menambah buruk suasana hatinya. Sebisa mungin Kalya mengenyahkan pikiran itu dan fokus dengan pekerjaannya. Hingga saat makan siang tiba, Meira mengajaknya makan siang yang tentu saja ditolaknya karena sudah membawa bekal dan sedang tidak ingin berada satu meja dengan Ryan.

Setelah teman-temannya berlalu, Kalya yang sedang menyimpan pekerjaannya mengangkat kepala karena sapaan Reno dari pintu ruangannya yang terbuka.

"Bawa bekal? Mau makan bareng? Kebetulan saya juga bawa bekal." tawar Reno.

Namun belum sempat Kalya jawab, pintu ruangan mereka terbuka dan membuat keduanya menoleh. Ada Radit berdiri di sana dan mengangguk sekilas pada Reno.

"Oh, oke.. kayaknya Kalya mau makan di ruangan manager sebelah ya." Reno terkekeh kecil yang ditanggapi tawa kecil oleh Radit juga Kalya.

"Nggak mau bareng kan, Pak?" kelakar Radit, membuat Reno melebarkan tawanya.

"Makasih. Titip aja ya ini supervisor saya, kayaknya agak badmood dari pagi. Saya duluan kalo gitu ya." Reno yang sudah paham, kembali masuk ke ruangannya.

"Udah selesai, Ya?" tanya Radit sambil menerima tas berisi bekal mereka.

"Nanti lagi aja lanjutinnya." Kalya segera merapikan mejanya kemudian beranjak dari kursi. "Kita di ruangan kamu aja kan?"

"Iya, yuk!"


***

Gimana sih perasaannya Reno?

kesayangan aku dia tuh..

COMFY-VersationTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang