Ming meraih botol air di hadapannya dan cepat-cepat minum. Ia harus tenang menghadapi Kuku Lanny dan ide gilanya. "Ku, peti Papa baru ditutup, jenazah Papa belum dikremasi. Kenapa bahas hal yang lain?"
"Ming, dengar dulu. Ada kepercayaan kalau sebelum dikubur atau dikremasi, roh orang yang meninggal itu masih ada, masih dianggap hadir. Kalau keluarga John setuju, biar Tata dilamar di depan peti, jadi hubungan mereka dapat restu papamu."
Ming meneguk air lagi, masih tak percaya Lanny mengajukan, bahkan setengah memaksakan, usul seperti ini.
"Ku, Ming enggak setuju kalau hal yang serius seperti lamaran direncanakan dengan gegabah. Apalagi kita masih berduka. Enggak perlu lamaran di depan peti Papa untuk dapat restu. Kuku sendiri tahu bagaimana Papa menilai John."
Ming tak mungkin salah mengartikan sikap papanya. Bulan lalu, ketika mereka sekeluarga makan malam merayakan ulang tahun papanya, John diajak serta. Ming yakin Lanny, yang juga ada di sana, melihat kedekatan papanya dan John.
Papanya juga sudah menyuruh Martha mengajak John hadir di acara Sincia, Imlek, keluarga besar mereka tahun lalu. Malahan saat itu Lanny yang membawa John berkeliling dan mengenalkan laki-laki itu sebagai "calonnya Tata" pada kerabat mereka.
Lanny bersikeras, "Ini buat kebaikan Tata, Ming."
"Ming paham maksud baik Kuku. Tapi Ming enggak setuju dengan cara seperti ini, Ku. Lamaran Martha enggak akan dilakukan dalam keadaan begini," tegasnya sembari melirik ke arah peti jenazah papanya.
"Ya sudah, Kuku ndak paksa. Tapi kalau mamamu sudah lebih tenang, coba bicarakan baik-baik," ujar Lanny, yang kemudian beranjak meninggalkan Ming.
Apa lagi ini?
Ming menutup mata dan menarik napas dalam. Pikirannya sesak.
Wajah Santi muncul di bayangannya, perutnya belum membesar. Baru dua bulan lalu, ia merasa begitu bahagia mengetahui Santi hamil. Ia masih berusaha menyiapkan hati. Tanggung jawabnya bertambah, satu insan lagi akan bergantung padanya.
Pagi ini, beban lain diletakkan di atas bahunya. Papanya tiada. Sekarang, dialah kepala keluarga ini. Dia harus bisa menopang mama dan adiknya. Tanggung jawab itu ada padanya. Dialah yang harus menatang mamanya yang berkali-kali hilang kesadaran seharian ini. Dialah yang harus berdiri di samping Martha, adiknya yang sok kuat itu.
Seakan semua hal ini –bertanggung jawab atas hidup 3 perempuan penting dalam hidupnya dan janin yang di kandungan istrinya– sepertinya belum cukup, kini masa depan Martha dan John juga diletakkan di tangannya.
Berat. Teramat berat baginya. Akankah dia kuat menanggung semua ini?
--
Suara centong raksasa yang berdentang saat beradu dengan dinding dandang kuah menarik perhatian Ming. Matanya mengikuti gerak pelayan yang kemudian menyajikan dua mangkuk nasi soto ayam yang uapnya masih mengepul.
"Makan, Ko," ucap Martha setelah berdoa.
"Ya, makan. Pasti kamu lapar habis ujian tadi."
Kantong hitam di bawah mata Martha tak bisa disembunyikan. Minggu lalu, dia membawa setumpuk buku dan catatan kuliah, belajar untuk ujian akhir semester di rumah duka, di samping peti papanya. Ketika banyak orang mengagumi ketekunan Martha, Ming tak merasa heran.
Begitulah Martha. Tidak ada yang bisa menghalanginya mencapai tujuan. Kedukaan bukan alasan yang cukup kuat untuk Martha melemah. Ia seperti ingin membuktikan diri dan menunjukkan pada papa mereka bahwa pilihannya tidak salah.
"Papa sudah bilang enggak setuju. Buat apa kuliah psikologi? Gak ada gunanya ngurusin orang gila." Suara papanya yang lantang dan penuh kemarahan masih terngiang jelas di telinga Ming.
KAMU SEDANG MEMBACA
Root to Fly
RomanceHidup Martha, si perempuan Chindo Suroboyo yang galak dan keras kepala, dihantam badai tak terduga. Kematian mendadak papanya menggoyahkan dunianya. Seakan belum cukup, sebuah rahasia gelap terungkap dan mengancam seluruh sisi kehidupan Martha. Mart...