John menyandarkan tubuh di sofa. Sebuah pigura menambah deretan foto yang digantung pada dinding ruang tengah rumah Martha. Pigura dengan foto Ah Lung.
Di bingkai itu, Ah Lung yang semringah mengenakan jas resmi terbaiknya. Ia ingat Martha bercerita tentang papanya yang selalu uring-uringan bila dipaksa mengenakan pakaian resmi. Mustahil melihat senyum dan kemeja di tubuh Ah Lung pada saat yang bersamaan.
John yakin foto itu diambil di hari pernikahan Ming. Di hari itu, Ah Lung tampil sebagai ayah mempelai laki-laki dengan balutan jas barunya. Dan tanpa gerutu sama sekali.
"Awas Bapak galak, John...."
Mengingat potongan informasi pertama yang John terima tentang Ah Lung membuatnya tersenyum geli. Andre, sahabat John yang mengenalkannya pada Martha ketika mereka berpapasan di kampus, memberi peringatan keras ketika John bertanya tentang gadis itu.
"Kamu pikir nggak ada cowok jentrek-jentrek*, antre di depan Martha, karena nggak ada yang mau sama dia? Papanya Martha itu lebih mengerikan dari penguji sidang skripsi! Kalau kamu cuma mau iseng, just step back and forget it!"
Bukannya menciut, rasa penasaran John malah berkembang dan membuatnya ingin menaklukkan Martha. Dan Bapak galaknya.
Maka di suatu sore yang cerah, John berdiri di depan sebuah ruko sederhana. Ia mencocokkan nama toko dan nomor yang terpasang di depan dengan informasi yang diberikan Andre. Ia menekan bel, dan menunggu lama tanpa ada respons dari balik pintu.
Ditekannya bel sekali lagi, dan ia menunggu, ditemani oleh riuhnya lalu lintas daerah Pasar Turi, salah satu pusat ekonomi di tengah kota Surabaya. Bulir keringat bermunculan di dahinya. Apa mungkin ia salah alamat? Ataukah ini tantangan yang harus ia lewati untuk dapat menemui Martha?
Mata John menyisir bagian atas bangunan itu. Apa mungkin ada kamera tersembunyi di sana?
Tubuh John tersentak kaget mendengar pintu harmonika di hadapannya dibuka. Setelah menyatakan maksud kedatangannya, laki-laki paruh baya yang ia duga adalah karyawan toko itu menyilakannya naik ke lantai dua. Kakinya melangkah perlahan, tapi jantungnya berdetak makin cepat.
Sumber cahaya dari atas begitu terang dibanding keadaan lantai satu yang minim cahaya. Dengan ragu, dia mendorong pintu kaca di ujung tangga.
"Permisi, Suk**," sapanya pada pria yang duduk di kursi malas, menonton tayangan di televisi. Beliau pasti Bapak galak yang diceritakan Andre.
Kursi malas itu membingkai tubuh yang tinggi dan tak terlalu gemuk. Kaus dengan warna memudar dan celana pendek yang beliau kenakan mempertegas tungkai yang panjang. Raut wajahnya serius, tak ada senyum di sana.
Diam-diam John merutuki debaran di dadanya yang makin riuh, seakan mengejek dirinya yang tiba-tiba merasa amat gentar.
Laki-laki itu menoleh ke arahnya. "Temannya Ming?"
"Bukan, Suk. Saya temannya Martha."
"Oh. Duduk." Raut wajahnya tak berubah. Galak. Pesan Andre tak main-main rupanya.
John menaruh kantong merah yang dibawanya di atas meja, lalu duduk di salah satu sofa yang ada. Tak ada pembicaraan di antara mereka. Hanya televisi yang bersuara. John sibuk membuat skenario kecil di kepalanya, bersiap menjawab bila papa Martha mulai memberikan pertanyaan.
Untuk menutupi kegugupannya, mata John berkeliling mengamati. Area makan ada di hadapannya, tidak ada sekat. Sejajar dengan rak televisi, ada tiga daun pintu yang ia tebak adalah kamar tidur anggota keluarga.
Di dinding seberangnya, ada rak kayu yang berisi berbagai piala dan ornamen. Lalu ada pintu yang entah menuju ke mana. Ruangan itu sebenarnya terasa penuh, tapi tidak sesak. Ada kesan hangat yang menyelinap di hati John.
KAMU SEDANG MEMBACA
Root to Fly
DragosteHidup Martha, si perempuan Chindo Suroboyo yang galak dan keras kepala, dihantam badai tak terduga. Kematian mendadak papanya menggoyahkan dunianya. Seakan belum cukup, sebuah rahasia gelap terungkap dan mengancam seluruh sisi kehidupan Martha. Mart...