Sejak bangun pagi, entah sudah berapa ratus kali Martha memeriksa ponselnya. Biasanya ketika mereka ribut, John yang akan lebih dulu menghubungi Martha. John akan mengirim pesan pagi-pagi, menawarkan diri untuk mengantar Martha ke kampus. Atau ia akan menelepon dan berjanji akan menjemput Martha sepulang dari kantor.
Sebelum keluar kamar, dengan memanggul tas ransel yang berat, Martha memeriksa ponselnya lagi. Nihil.
Suasana hati Martha bertambah suram ketika melihat kukunya sudah ada di ruang makan. Lanny masih berusaha membuat Martha berubah pikiran. Nasihat hingga kata mutiara terus keluar dari mulut beliau.
Untung saja Ming mendesak Martha untuk segera menghabiskan sarapan. Martha akan menumpang mobil muatan toko yang akan mengirim barang. Kata Ming, tujuan Martha searah dengan rute pengiriman hari itu.
Saat hendak naik mobil dan berangkat menuju toko, Lanny menarik tangan Martha dan menyelipkan sebuah amplop merah ke saku celananya. "Sangu, bekal buat lu."
Martha jadi merasa seperti akan pergi study tour, tetapi menuju ke tempat yang dia tak pernah tahu dengan membawa semua beban di hatinya.
"Kamu sudah ngomong sama John?" Ming yang sedang menyetir bertanya tegas.
Tak ingin menjawab pertanyaan itu, Martha memilih memejamkan matanya.
"Nggak usah pura-pura tidur. Koko sudah tahu trikmu yang itu. Sudah ngomong?"
Ia mendengus dan melirik pada Ming. "Belum. John marah."
"Kenapa?"
Dari jendela, Martha melihat jalanan Surabaya yang semrawut. Kendaraan roda dua berlomba-lomba mencari celah untuk terus melaju. Seorang abang becak melambaikan tangan sebelum berbelok. Biasanya Martha tak terlalu merasa terganggu dengan pemandangan seperti itu. Tapi, sekarang ia merasa kadar gusar dalam darahnya meningkat tajam.
"Aku ceritakan semua. Aku bilang mau pergi. Dia enggak setuju. Sampe sekarang belum ada kabar," jawab Martha sembari memeriksa ponselnya lagi.
Ming berdecak keras. "Cengkal* kok diopeni? Keras kepala itu jangan dipelihara."
Martha tak berani menatap Ming. Ia berusaha keras agar tak menangis di hadapan kokonya.
"Jangan tunggu John, kamu yang cari dia. Ingat janjimu!"
--
Mobil boks yang ditumpangi Martha sudah keluar dari jalan tol. Di sebelah kirinya, terbentang tanggul tinggi yang membendung luapan lumpur. Andai saja ada tanggul yang cukup kuat untuk menahan rasa cemasnya. Suara klakson terdengar bersahutan.
Martha sudah berada jauh dari Surabaya, tapi perkataan kokonya, juga raut kecewa John tadi malam, seperti menguntit dirinya.
Mobil berhenti dalam kemacetan. Sebuah lagu melankolis terdengar dari radio.
"Pak Yono, sejak kapan dengar siaran lagu Mandarin?" Martha baru menyadari, sejak tadi ada lagu-lagu Mandopop yang menemani perjalanan.
Kumis tipis Pak Yono terangkat karena ia tersenyum simpul. Pegawai kepercayaan papanya, yang sekarang juga dipercaya Ming, tetap fokus mengemudi sembari menjawab, "Sejak dulu, Non. Kalo pergi sama Kohde, mesti setel lagu-lagu begini. Lama-lama jadi kulina**."
Martha manggut-manggut. Pak Yono sudah bekerja di toko mereka sejak bujang. Maka tak heran bila beliau, dan beberapa pegawai lain yang sudah lama bekerja di toko mereka, terbiasa memanggil Ah Lung "Kohde". Panggilan itu sarat rasa hormat, tetapi juga menyiratkan keakraban.
"Mau kirim barang ke mana, Pak?
"Ke toko langganan, Non. Tiap bulan rutin kirim. Kadang bisa minta 2 kali kirim dalam sebulan."
KAMU SEDANG MEMBACA
Root to Fly
RomanceHidup Martha, si perempuan Chindo Suroboyo yang galak dan keras kepala, dihantam badai tak terduga. Kematian mendadak papanya menggoyahkan dunianya. Seakan belum cukup, sebuah rahasia gelap terungkap dan mengancam seluruh sisi kehidupan Martha. Mart...