Epilog

93 9 2
                                    

Tiga tahun kemudian.

Fajar baru merangkak naik, tetapi kamar Martha sejak subuh tadi sudah terang. Martha duduk di hadapan meja kerjanya, merapikan beberapa perhiasan yang ada di kotak yang baru ia keluarkan dari lemari. Sebuah kalung emas dengan liontin shuangxi, double happiness, menarik perhatian Martha. Berhati-hati, ia menarik kalung itu keluar dari kotak dan menaruhnya di telapak tangan.

Martha tersenyum dan menggeleng. Terlalu berat. Lagipula, ia tak ingin merebut sorotan dari "pemeran utama" hari ini. Setelah beberapa menit memilah-milih, ia memutuskan untuk mengambil kalung berhiaskan jantung hati dengan berlian kecil.

Segera saja Martha beranjak dan memanut dirinya di depan cermin. Kebaya peach dan kain kebaya membalut anggun tubuhnya. Setelah menempelkan kalung pilihannya ke leher, Martha tersenyum puas. Tangan Martha mulai pegal, sudah beberapa kali ia gagal memasangkan kait kalung. Martha menyerah. Sebaiknya ia meminta pertolongan.

Ia beranjak keluar dari kamar, berharap mama atau kukunya selesai dirias dan bisa membantunya. Senyumnya terulas lebar melihat sosok laki-laki dengan kemeja batik sudah duduk manis di ruang tengah.

--

Tak ingin merusak jadwal hari penting ini, John sudah tiba di rumah Martha beberapa menit sebelum pukul 6, waktu yang mereka sepakati bersama. Rumah itu tampak sunyi, tapi John yakin para penghuninya sedang bersolek di balik pintu kamar-kamar mereka.

Ia memandangi foto Ah Lung lekat-lekat. Entah sudah beratus atau beribu kali ia duduk di tempat ini dan menatap pigura di dinding itu. Masih lekat dalam ingatannya lagu-lagu Mandopop yang sering mengudara di sini, menemani percakapan John dengan Ah Lung. Dan sekalipun beliau telah tiada, John sering merasa Ah Lung terus mengamati dan mengawasi interaksinya dengan Martha di ruangan ini.

"Babe, tolong pasangin dong." Permintaan Martha membangunkan John dari lamunannya.

John segera berdiri, menerima seuntai kalung dari Martha dan mengaitkannya di belakang leher jenjang kekasihnya itu. "Loh, enggak mau pakai kalung yang dikasih Mami minggu lalu, Babe?"

"Kata Mama, kalung lamaran harus disimpan baik-baik. Enggak boleh dipake sembarangan."

"Hari ini kan acara keluarga, Babe. Boleh aja kamu pakai kalung itu."

"Berat, John. Nanti aku jadi bungkuk pake kalung itu seharian."

John tersenyum kecil sembari memutar badan Martha lalu memindai penampilan tunangannya, dari ujung kepala hingga ujung kaki. Rambut panjang Martha sudah tertata rapi, wajahnya dirias dengan polesan lembut, pas sekali dengan kebayanya dan juga kalung yang John pasangkan tadi.

"Cantik," puji John sambil mengusap lengan Martha. Rasanya ada sesuatu yang menarik John untuk terus menatap Martha. Mungkin riasan wajah yang menonjol fitur terbaik dari kekasihnya itu. Penampilan Martha yang berbeda dari kesehariannya membuat John makin terpesona. Atau mungkin wangi parfum, yang jarang Martha pakai, membuat segalanya makin istimewa.

"Kamu jangan macam-macam." Tangan Martha mendorong bibir, dan wajah, John menjauh dari wajahnya. "Nanti lipstiknya berantakan," imbuh Martha mencebik.

John tertawa. Diraihnya tangan Martha dan digenggamnya erat. Setiap kali John menatap Martha, hatinya selalu membuncah dengan kebanggaan. Ia ingin selalu mendampingi perempuan itu meraih semua impiannya.

Maka tak heran, John rela mengambil cuti demi mengantarkan Martha untuk wawancara kerja  pertamanya. Ia pun selalu menyempatkan diri menjemput Martha yang sering lembur, bentuk kesungguhan perempuan itu dalam membangun kariernya.

Dan dalam kesibukan itu, Martha dengan berani mengambil keputusan untuk melanjutkan studi. Tak sulit untuk menebak, seperti yang ia lakukan ketika studi sarjananya, Martha menyelesaikan studi lanjutnya dengan gemilang.

Root to FlyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang