21. Hantu Masa Lalu

42 7 0
                                    

Kedua tangan Martha bergerak gelisah di pangkuannya. Beberapa menit, sejak bibik yang bekerja di rumah Lanny membuka pintu dan menyilakannya duduk di ruang tengah, terasa seperti berjam-jam. Ia sibuk mengatur napas, menenangkan hatinya yang masih bergejolak dengan rasa bersalah.

Rumah ini tak banyak berubah. Dulu, Lingga akan membawa Martha berkunjung, paling tidak sekali dalam seminggu, mengunjungi Yeye dan Nainai. Namun, beberapa tahun terakhir, Martha lebih banyak berhenti di luar pagar. Ketika menjemput atau mengantar Lanny, ia akan memilih untuk menunggu di dalam mobil.

Martha menengadah kaget ketika secangkir teh yang uapnya masih mengepul disajikan di hadapannya.

"Minum dulu biar perutmu hangat. Kamu dari rumah belum sarapan, 'kan?"

Martha mengangguk. "Xie-xie, Ku."

Ia meraih cangkir itu, kehangatannya langsung terasa hingga ke hatinya. Kali ini ia tak mungkin tidak merasakan perhatian kukunya. Matanya sudah tercelik. Mungkin ada ratusan hingga ribuan kebaikan Lanny yang tak ia anggap, yang ia sepelekan, bahkan yang ia abaikan.

Lanny duduk di hadapan Martha. Daster bunga-bunga merah yang dikenakannya kontras dengan suaranya yang menenangkan. Sangat berbeda dengan Lanny yang biasanya.

Setelah menyesap teh yang terasa amat manis itu, Martha menaruh cangkirnya di atas meja. Ia kembali mengusapkan tangan ke celana panjang yang dikenakannya.

"Ku ... em, Tata ... em ... duibuqi*, Ku," Martha tergagap.

Lanny tak menjawab. Namun, pandangan matanya juga tak memancarkan kemarahan atau kejengkelan. Martha tak tahu apa yang ada di pikiran dan hati kukunya saat ini.

"Tata ... harusnya ... enggak ngomong ... kayak gitu ... sama Kuku. Duibuqi, Ku."

Lanny masih tak menjawab. Martha hanya menatap tangannya yang sekarang meremas kain celana yang dikenakannya. Beberapa detik kemudian, Martha mendengar isakan yang tertahan. Ia menengadah dan menemukan kukunya sibuk mengusap air mata yang berjatuhan.

Lidahnya jadi kelu. Pikirannya buntu. Ia sungguh tak tahu harus berkata apa dan harus berbuat apa.

"Lu berhak tahu. Tapi, mungkin belum pas waktunya. Kuku ...," kalimat Lanny terhenti oleh isakan yang makin keras, "Kuku harusnya ... cerita."

"Koko sudah cerita, Ku," sela Martha. "Tata yang salah. Harusnya Tata enggak paksa Kuku dan Mama. Tata mestinya tahu diri."

Lanny menggeleng. "Sudah waktunya lu tahu."

Martha mendengar kisah yang ingin ia ketahui, dari sudut pandang Lanny. Yeye yang sering tak ada di rumah ketika Nainai sakit keras. Lanny yang harus merawat mamanya, sembari harus mengaburkan alasan sebenarnya dari ketidakhadiran papanya di rumah.

"Waktu itu papa dan mama lu masih tinggal di sini," mata Lanny menjelajah ruangan tempat mereka berada, bernostalgia. "Ming masih kecil, masih suka panjat-panjat sofa ini," ujarnya sembari menepuk sofa tempatnya duduk.

Martha sontak menggeser pantatnya, mendekat ke arah Lanny.

"Papa sama Mama pernah tinggal di sini, Ku?"

Lanny mengangguk. "Setelah menikah dulu, mereka masuk ke sini. Terus enggak lama, Nainai sakit. Untung waktu itu ada mama lu. Jadi, ada yang bantu jaga Nainai. Kuku ndak bisa bayangin, Mama lu harus ngramut** Ming, tapi juga urusin Nainai."

"Tapi, 'kan ada Kuku yang rawat Nainai?"

Lanny menghela napas. Pandangannya menerawang ke arah jendela rumah.

"Ndak usah cerita, Lan. Tata perlu belajar, ada hal-hal yang dia ndak harus tahu. Itu hidup lu, Lan. Ndak usah buka hal yang bikin lu sakit lagi. Lu berhak simpan," suara lembut Lingga memecah kesunyian di antara mereka.

Root to FlyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang