5. Kebenaran dan Kebebasan

64 8 0
                                    

Matahari telah beranjak dari puncak takhtanya. Langit masih terang, tapi panas terik sudah tak menguasai udara. Martha duduk di lantai selasar ruang kuliah, menatap ke arah lapangan kosong yang berada persis di sebelah gedung itu. Angin sepoi-sepoi berembus, membawa sisa terik yang menyapa kulit Martha.

Pertemuan keluarga kemarin sukses mengacaukan kepalanya. Ia tak lagi mampu menata pikirannya. Keresahan menguasai hatinya.

"Ta, ngelamun apa?" Ivanka, sahabatnya, menyodorkan sebotol teh dingin.

Martha hanya mengedikkan bahu. Ia ingin tahu lebih banyak tentang manusia bernama Bayu itu. Tetapi ia tak yakin bagaimana caranya mendapat informasi yang ia cari.

Kemarin malam, Ming tak mau banyak bicara. Mau berharap mama atau kukunya buka mulut juga rasanya mustahil.

"Eh, Va, misalnya ya, ini seumpama. Misalnya ini, Va, kamu–"

"Ambekan* sik**, Mbak. Sabar .... Baru pertama aku denger kamu ngomong kayak nenek-nenek latah."

Martha tergelak mendengar respons Ivanka. Ya, dia perlu lebih tenang. Ia menutup mata sejenak, menghirup udara dalam-dalam dan mengembuskannya perlahan. Segera ia membuka botol dan meneguk sedikit teh di dalamnya, berharap hatinya ikut mendingin.

"Oke. Gini. Misalnya, kamu diberitahu bahwa ada sebuah rahasia penting yang bisa mengubah hidupmu. Puueenting pooll rahasianya! Tapi cuma sampe segitu aja tahunya. Kamu bakal ngapain?"

"Jadi, ada satu rahasia yang bakal membuat hidupku beda gitu?" Dahi Ivanka berkerut, matanya menatap ke arah lapangan. Sepertinya ia sedang mencari jawaban untuk pertanyaan Martha. "Gampang itu jawabannya!"

"Apa?" tanya Martha penasaran.

"Ya aku bakal cari rahasia itu. Nggak peduli harus ke Timbuktu, aku cari sampe ketemu."

"Nggak peduli kalo harus mengorbankan sesuatu yang berharga?"

"Ya lihat-lihat sih, Ta. Kalo rahasia ini penting banget, aku pikir pengorbanan itu perlu ya. Untuk dapat sesuatu yang berharga mana pernah gratisan? Semakin berharga, biasanya makin susah jalannya."

"Bener juga kamu. Terus gini nih... kalau pada akhirnya rahasia itu malah menghancurkan hidupmu, gimana? Apa kamu enggak menyesal udah usaha mati-matian? Susah payah cari tahu, hidupmu bukan makin baik, eh... malah makin berantakan."

"Hehm ...." Ivanka menarik kedua lutut dan memeluknya dekat ke arah dadanya. Kepalanya bergoyang ringan ke kanan dan ke kiri, memikirkan pertanyaan Martha. "Kalo aku ya, Ta... mending aku tahu semua, enggak dihantui penasaran. Perkara nanti hidupku jadi makin baik atau enggak, kan tergantung dari gimana aku menghadapinya. Kayak khotbah Pak Pendeta Minggu kemarin itu lho."

Martha manggut-manggut. Dia ingat Minggu kemarin Pak Pendeta berkata, "Kebenaran akan membebaskan."

"Jadi menurutmu, lebih baik tahu kebenaran itu. Lalu kita bisa bebas menentukan mau menghadapi dengan sikap seperti apa?"

"Yes! Sekalipun rahasia itu ternyata membuka hal yang enggak baik, kita punya pilihan untuk terjebak terus dalam hal itu atau memperbaikinya. Bener, nggak?"

"Bener kamu! Jadi, aku pergi cari dia aja ya, Va. Ide bagus! Kamu emang the best deh," ujar Martha sembari memeluk erat sahabatnya yang tampak kebingungan.

"Hah? Kamu mau cari siapa? Dia siapa?"

Martha mengerling pada Ivanka yang masih tak paham maksud pembicaraannya.

"Ta... eling, Ta. Kamu udah punya ko John, jangan cari selingan!"

"Asem!"

--

Root to FlyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang